Lihat ke Halaman Asli

Rahma Dian

Love writing and reading

Hujan Sore Ini 2

Diperbarui: 29 Juni 2016   12:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

hujan sore ini2 | Koleksi Pribadi

Masih sampai pintu, jantungku sudah meleleh, nafasku tinggal satu – satu dan air mata meramaikannya. Mataku menyajikan hal yang tak bisa dipercaya, Nuka berpegangan tangan dengan seorang perempuan. Hatiku ikut tertusuk ketika tahu perempuan itu Jelita, teman SMAku. Tak sanggup melakukan apapun, aku berlari meninggalkan semuanya. Berjalan dengan gulana yang tak terhitung. Baru beberapa meter melangkah, petir menggoyah, angin marah, dan air memandikan semuanya. Akupun merasa hujan kali ini bukan air tapi api yang membakar tubuhku hingga hangus. Huh! Berulangkali nafas panjang kukeluarkan namun hasilnya sama, sakitnya tak berkurang.

Kusandarkan tubuh di besi tua sebuah jembatan, bukan mau lompat. Aku hanya ingin meninggalkan seluruh luka dan membiarkannya mengalir bersama hujan. Tubuhku basah, otakku juga, hingga aku berfikir “Kenapa aku marah? Status Nuka bukan pacar, murni teman”. Mungkin aku telah jatuh cinta, sayangnya aku baru menyadari di saat dia memilih wanita lain.

Aku sudah menyadari kalau Nuka telah menunjuk cinta yang lain. Namun hatiku belum cukup nyali untuk berjalan sendiri, meninggalkan Nuka dengan kebahagiaannya. Aku masih berdiri menikmati sakit perdana. 1 atau 2 jam aku tak tahu, jelasnya diriku masih ingin di sini meski hujan terus mendera dan dingin tak lagi main – main.

Tak ada suara kecuali petir, tak ada manusia kecuali aku, tak cahaya kecuali bintang, aku benar – benar sepi sampai sebuah Livina putih berhenti. Keluarlah pria yang tak kukenal. Dia menghampiri dengan payung hitamnya.

“Sebenarnya aku tadi ada di belakangmu dan melihat semuanya. Kita sama – sama tersakiti, aku oleh Jelita dan kamu oleh pria itu. Sayangnya aku tak bisa marah karena sudah putus. Oh ya, bagaimana denganmu?” penjelasan pria entah siapa itu tak mampu kujawab. Tubuhku telah kalah, aku menggigil. Pria itupun bersuara lagi,”Sorry..sorry kita ngobrol di mobil.”

Jauh lebih hangat, sepertinya aku sanggup bercerita,”Aku dan Nuka tak ada hubungan apapun. Maaf aku juga nggak bisa menjelaskan apapun. Maaf.” Rupanya level keberaniannku cetek, aku tak mampu bilang kalau “Aku cinta sendirian.”

Tampaknya pria itu tak ingin tahu lebih jauh. Dia diam dan mengantarku sampai rumah. Turun dari mobil, perkenalan mulai,”Kenalin aku Adam.”

“Lintang. Makasih udah anter sampai rumah,” kusambut tangan kuatnya dengan senyuman.

Suatu hal terjadi ketika aku akan masuk rumah. “Lintang,” Adam memanggilku. Dia memberiku sesuatu, sekotak es krim. “Jangan lihat momennya, rasakan coklat yang ada di dalamnya. Siapa tahu bisa mengubah sedih jadi bahagia,” ujar Adam dengan senyum kecil. Wajahnya yang orintal, sedikit mengobati diri yang sesak akan luka cinta. Semoga Adam bisa jadi teman baik.

“Jadi tadi ke kafe kamu pengen beli es krim. Tapi kenapa kok kamu kasih ke aku?” aku ingin penjelasan dari Adam dibarengi secuil keanehan “Kenapa perkataan Adam hampir sama dengan Nuka? Mereka kompakan?”

“Tadi aku sudah bilang, siapa tahu bisa mengubah sedih jadi bahagia. Sudah jangan tanya – tanya, masuk gih keburu kedinginan tuh!” Adam seperti tak tega melihatku merasakan dingin yang kelewat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline