Pertengahan 1988. Sekolah itu, SMP 13, letaknya dekat sawah. Dikelilingi sawah, tepatnya. Tengah hari adalah saatnya istirahat. Beberapa anak ke kantin yang ada di antara lokal kelas 3 dan kelas 1 di utara kantor guru. Sebagian lagi ke warung bangunan kayu di samping kelas 2A. Tepat di samping timur bangunan perpustakaan.
Aku sendiri, seperti hari-hari biasa. Tak menuju kedua warung tersebut. Uang jajan adalah hal yang langka. Kalaupun ada, seratus perak yang diberi akan dimasukkan tabanas, yang progres penambahan isinya begitu lambat.
Abah, begitu aku memanggil bapak, adalah guru di sekolahku. Mengajar beraneka ragam mata pelajaran. Selagi kelas satu mengajar biologi, kelas dua mengajarkan tata usaha, dan semester terakhir memegang mata pelajaran keterampilan.
Sesiang itu, seperti siang yang sudah-sudah. Memanggilku masuk ke ruangannya. Ruangan tersendiri di samping lab biologi, tak bergabung dengan ruangan guru lainnya. Hanya dengan isyarat, menyuruhku meminum segelas teh hangat dan sepotong kue, jatah kudapan hariannya.
Tak pernah terpikirkan olehku, apa yang abah makan siang itu sampai nanti saatnya pulang sekolah. Pulang sekolah yang beberapa kali jika berpapasan, aku diminta naik ke boncengan Yamaha L2 berwarna biru. Tanpa ada ucapan sepatah pun. Menjaga marwah sebagai seorang pengajar. Selalu menegaskan padaku bahwa "kalau di rumah kamu anak abah, tapi kalau di sekolah kita adalah guru dan murid"
Tegas dan tak bisa ditawar. Jelas dibuktikan saat ulanganku dikasih angka 3 tanpa ampun saat tak sanggup mengerjakan soal yang diberikan. Abah hanya tertawa pelan saat menceritakan hasil ulanganku pada mama.
Sekolah saat itu masih mewajibkan bayar uang SPP, walaupun negeri. Di kelas dua pula, aku mendadak dipanggil kepala sekolah ke ruangannya beserta beberapa murid lain. Ternyata semuanya termasuk barisan penunggak bayaran sekolah.
Saat giliranku, aku ditanya kenapa jadi menunggak uang sekolah sampai dua bulan. Aku bilang saja kalau selama ini urusan SPP dibayar sama abah. Saat beliau menanyakan pekerjaan dan lokasi kerja abah, aku pun menjawab guru di sekolah ini.
Kepala sekolah hanya bisa terkejut. Rupanya abah pun tak pernah bercerita kalau anaknya bersekolah di tempat yang sama dengan tempatnya mengajar. Keterkejutannya berubah menjadi senyum bijak. Sembari memamerkan beberapa jam weker di ruangannya.
"Itu abahmu yang meraparasinya, sudah kamu kembali saja ke kelas"