bagian 2. sendirian.
Pagi rasanya lambat sekali memulai batas waktunya. Cahaya masih betah dengan eskalasi redupnya. Jalan yang diintip dari jendela barat masih basah. Sisa-sisa hujan dinihari. Beberapa dedaunan eucalyptus sebelum waktunya, sebaran hijau yang kontras.
Pikirannya kemana-mana. Angin yang menelusup dari lubang angin membuatnya lamur. Berkali-kali rasanya dejavu. Paras Arunika masih saja mengangkasa. Memenuhi rongga-rongga ingatan. Penuh.
Kaos seulas kunyit. Jins yang ujungnya terurai. Kets hijau pupus dan sedikit berlumpur di ujung. Semua masih lekat. Seakan-akan baru saja sosok yang diingatnya turun dari jok belakang. Melangkah sambil menunduk. Berucap terimakasih sesaat setelah memasuki pagar kayu agathis tua.
'.. dedaunan di halaman rumahnya berjatuhan, seakan menyambut putri itu lewat..'
Seharusnya ada tugas yang harus diselesaikannya. Hari ini adalah batasnya. Tapi Taksa tak peduli. Tak pernah peduli. Menyesal menanyakan alasan Arunika menghilang lebih memutarbalikkan dunianya.
Tak ada yang bisa ditanya. Tak ada siapa-siapa di rumah itu.
'..aku sendirian..' Katanya suatu ketika. Tanpa berusaha untuk menanyakan alasan apapun. Kehilangan jejak adalah salahsatu hal yang tidak menyenangkan dalam kumpulan kosa kata hidupnya.
Kelelahan sendiri. Taksa seakan moksa. Napasnya kembali datar. Matanya menutup. Mengubur lelahnya dengan rebah tanpa batas waktu.
Tak peduli dengan kalimat Debasish Mridha yang pernah dibacanya, bahwa"Bahkan jika kamu menutupi seluruh dunia dengan kegelapan, kamu tidak akan pernah bisa menghentikan matahari terbit."
Hangat sudah menembus kisi-kisi jendela timurnya. Taksa lenyap dalam lelah sendirinya.