Sekali lagi, Adhitya Mulya berhasil dengan fiksinya. Pesona karyanya tak pernah pudar semenjak Jomblo terbit 21 tahun silam. Ciri khas karyanya kembali muncul, yaitu gabungan komedi, situasi sehari-hari, romansa malu-malu, sedikit hal absurd dan pelajaran bagus yang bisa diambil.
Cerita berawal dari kelakuan Gilang, seorang pemain figuran akut yang tak pernah naik kelas menjadi aktor utama setelah bertahun-tahun menjalani profesinya. Sebenarnya tak ada yang salah, selain kegemarannya melakukan improvisasi pada setiap syuting dilakukan.
Adegan yang dilakukannya seringkali melenceng dari skenario. Seringkali improvisasinya berujung pada hal-hal yang merugikan, baik bagi aktor utama maupun kerugian finansial. Hal yang akhirnya membuat karirnya sebagai pemain figuran nyaris berakhir.
Sampai pada suatu titik, tiba-tiba dalam sebuah syuting film terjadi penculikan pada pemain utama dan beberapa orang lainnya, termasuk Gilang, Rachel yang juga seorang artis terkenal dan Tegas, seorang sutradara film. Mereka terseret dalam petualangan, sampai jauh ke pedalaman Kalimantan.
Petualangan yang panjang dan melelahkan inilah sebenarnya yang membuka jati diri Gilang sebenarnya. Dirinya yang sering dianggap biang kerok penyebab kegagalan dalam adegan sebuah film, ternyata tak seperti yang terlihat. Melarikan diri dari penculik sadis yang menginginkan uang tebusan tentu saja bukanlah hal yang mudah.
Banyak hal-hal di tengah perjalanan yang membuat Rachel dan Tegas terkejut, tak menduga akan kejadian-kejadian yang dihadapi mereka. Terkadang diselingi dengan kelucuan saat Tegas tak bisa memupus jiwa sutradaranya dengan merekam banyak kejadian pada petualangan mereka.
Inti dari novel ini sebenarnya adalah 'investasi'. Ya investasi dalam tanda petik. Pengorbanan yang dilakukan Gilang dalam rangka totalitasnya dalam bekerja, walaupun hanya sebagai tokoh figuran yang seringkali hanya dipandang sebelah mata oleh insan film lainnya.
Investasi yang tak berwujud harta, tapi segala skill yang dipelajarinya untuk menunjang aktingnya. Itu pun juga dilakukannya untuk mencapai mimpinya untuk menjadi aktor utama suatu saat. Walaupun kelakuannya itu harus mengorbankan hal yang disayangi ibunya untuk dijaga.
Tapi tenang saja, seperti halnya novel Adhitya Mulya yang lain, ending cerita selalu berhasil memuaskan saya. Juga berhasil membuat saya terharu dan merenung pada beberapa titik cerita.
Plot twist dalam novel ini cukup menyenangkan, walau mungkin sudah ada bisa menebaknya di tengah-tengah cerita. Saya tak merasa aneh jika suatu saat novel ini dijadikan film seperti sebelumnya. Alur ceritanya memang potensial untuk itu. Pasti akan seru jika diwujudkan dalam aksi di film.
Bagian menarik lainnya dalam novel ini adalah, adanya keterkaitan tokoh-tokoh di novel ini dengan novel-novel terdahulu seperti Jomblo dan Sabtu bersama Bapak. Sepertinya Adhitya Mulya sudah mempersiapkan universe-nya sendiri sejak lama. Jenius sekali!