Tulisan ini hanyalah renungan, setelah sadar bahwa betapa sedikit buku bagus yang bisa dibaca tahun ini, lebih tepatnya novel atau fiksi yang bisa dibaca dan membuat penasaran sehingga harus terselesaikan dalam kisaran waktu duapuluh empat jam.
Buku terakhir yang membuat begitu adalah Brianna dan Bottomwise karya Andrea Hirata yang masih saya tunggu kelanjutannya.
Di sisi lain, hanya ada beberapa kawan yang bertahan membaca buku dengan rajin. Baik buku fisik maupun kertas elektronik yang dibaca via gadget khusus bertinta elektronik pula.
Mayoritas sekarang orang-orang (yang saya amati di sosial media pula) lebih senang berkicau tentang pendapatnya atau pendapat orang lain yang dianggap sesuai dengan dirinya, tentang apa saja: politik, mode, hobi, kecelakaan, keuangan, negara yang sering terasa tak pernah benar, tentang apapun.
Atau antusiasme serial tontonan (sebagian adalah drama asal Korea) atau musik (yang juga beberapa masih tentang artis dari Korea Selatan). Tontonan yang sekarang tak cuma bisa dilihat di televisi, semenjak adanya internet yang kecepatan datanya semakin bertambah dan semakin mura, hingga hiburan bisa diakses dimanapun, kapanpun dan lewat apapun.
Kemampuan imajinasi yang dulu terasah lewat alur cerita dalam buku (sesekali dulu lewat audio di radio), sekarang rasanya pelan-pelan terhambat dengan dimanjakannya panca indera manusia dengan adanya sosial media dan corong audio visual yang nyaris tanpa batas.
Bagaimana bisa berimajinasi, jika satu kisah sudah bisa digambarkan sutradara lewat rangkaian 8 atau 16 jilid episode dengan visual dan audio yang memuaskan mata dan telinga. Tak perlu lagi berimajinasi, semua sudah tersaji.
Sementara hendak berpendapat apapun, bisa dilontarkan dalam sepersekian detik di media sosial. Kalau sedikit kontroversial, pun tak menunggu waktu lama untuk menjadi viral dan tersebar dimana-mana.
Boro-boro menuliskan apa yang ada di pikiran dengan baik. Membaca sebagai sarana dan sumber imajinasi rasanya menjadi semakin malas. Pemikiran ditulis terkadang hanya berdasarkan referensi dari sosial media alih-alih membaca sumber yang sahih dengan tekun dan cermat. Ah itu contoh yang terlalu berat.
Kembali saja pada persoalan imajinasi, yang harusnya bisa muncul sendiri tatkala sunyi. Beberapa saat setelah membaca fiksi, atau boleh lah komik sesekali. Sekarang kenapa terasa begitu susah?
Takutnya sekarang para penulis fiksi yang bagus semakin langka dan jarang menulis lagi. Ternyata cukup menakutkan juga memikirkan kehilangan kemampuan berimajinasi.