Gara-gara lupa waktu, dan terlalu santai (kata pengganti untuk rasa malas), ternyata besok adalah tenggat waktu terakhir untuk mengumpulkan tulisan. Hal yang sebenarnya telah direncanakan semenjak tiga minggu lalu.
Belum cukup sampai di situ. Saat memeriksa ulang tenggat waktu yang lain, ternyata ada dua antrian tulisan lagi. Tenggatnya masing-masing sekitar satu minggu lagi. Belum lagi jadwal seminar yang harus dilaksanakan tiga hari lagi.
Ternyata itulah gunanya manajemen waktu. Mengerjakan segala sesuatu sesuai urutan dan lebih awal memang selalu lebih baik dan bikin tenang. Tapi rupanya hobi dikejar-kejar deadline tak juga bikin kapok.
Masalahnya adalah, saat ada kegiatan menulis,artinya harus membaca terlebih dahulu. Lebih-lebih jika hal yang ingin ditulis terkait dengan artikel ilmiah. Menyusun bahannya pun harus terklasifikasi dengan baik, berurutan dan tentu saja sistematis. Bahan yang dibaca juga menyesuaikan dengan kerangka tulisan yang dibangun.
Mungkin itulah inti masalah yang membut kepala tiba-tiba terasa penuh dan pusing. Sampai akhirnya memutuskan istirahat setelah menyelesaikan lima halaman dari target 15 halaman, untuk tulisan pertama. Lumayan tinggal memikirkan sepuluh halaman lagi.
Sepertinya bukan karena hari pertama puasa yang menyebabkan kepala cenat cenut. Atau akibat gangguan mata, itu hasil dari membaca hasil tanya jawab di situs alodokter hasil gugling barusan.
Sebenarnya bukan cuma sekarang. Hal yang membingungkan itu adalah, perbandingan baca buku teori atau tulisan ilmiah, selalu cepat bikin pusing, dibandingkan membaca novel atau tulisan fiksi.
Ratusan halaman novel pun bisa dituntaskan kurang dari 24 jam. Dan bukannya bikin pusing, justru bikin puas dan menyenangkan. Sepertinya imajinasi manusia lebih optimal saat membayangkan hal-hal yang ringan dan nyaman.
Atau manusia yang dimaksud itu cuma saya saja?
Ajaibnya, saat menulis dengan lepas di sini. Saya tak merasakan pusing sama sekali. Mungkin karena referensinya adalah hal-hal yang telah ada di dalam kepala ya, jadi tak begitu sulit mengolahnya dan menuangkannya dalam bentuk tulisan.
Mungkin karena itu pula, berceloteh ringkas di sosial media pun jauh lebih menyenangkan dibanding menyusun kalimat yang memerlukan referensi yang memelrukan akurasi lebih teliti, biar nantinya tak menyesatkan pembaca atau orang lain yang suatu saat memerlukan sitasi.