Rasanya lama sekali tak memancing ikan. Hal yang sewaktu kecil justru sering dilakukan di kampung halaman.
Saat kemarin sore mampir ke rumah acil (bibi, bahasa Banjar), tiba-tiba mendadak tercetus keinginan untuk memancing. Lokasinya tak jauh-jauh, di belakang rumah beliau saja. Rumah yang sebenarnya berada di dekat persawahan, dulunya. Tapi sekarang tanah persawahan banyak yang beralih fungsi menjadi perumahan dan berganti kepemilikan.
Saat mencari-cari peralatan memancing, ternyata hanya menemukan tantaran (joran, bahasa Banjar) yang disampirkan di samping lemari kayu di dapur. Joran tradisional yang terbuat dari bambu berdiameter kecil, karena ikan yang dipancing juga tak begitu besar ukurannya.
Kebetulan di depan rumah, ada yang jualan peralatan pancing. Jadi saja beli kawat pancing, nilon, umpan beserta pelampung kecil yang belakangan justru tak terpakai.
Umpan yang dibeli adalah telur dan larva telur semut kararangga/rang-rang (Oecophylla sp.), salah satu umpan yang biasa digunakan untuk memancing ikan papuyu (betok), ikan yang biasa dipancing di daerah Kalimantan Selatan.
Sebenarnya ada pilihan umpan lainnya, seperti larva tawon dan belatung. Tapi sepertinya telur semut lebih menyenangkan, walau kalau tidak pas saat menyangkutkannya di mata kail bisa pecah tak karuan.
Total habis modal cuma sembilan ribu rupiah, dengan rincian tiga ribu untuk satu set benang nilon dan mata kail pancing ukuran nomor 6, umpan telur semut lima ribu untuk satu takar, dan seribu rupiah untuk pelampung pancingan (yang akhirnya tak terpakai itu).
Setelah mata kail dan nilon terpasang, umpan dipasang. Proses mengail alias memancing ikan pun dimulai. Target sasaran iwak papuyu berusaha didapatkan. Apa daya saya yang tak sabaran, tak betah berlama-lama menunggu di satu spot saja. Baru beberapa menit memutuskan untuk pindah ke spot kanan kiri rumah. Dan hasilnya nihil.