Mengganti beras sebagai bahan pokok, tampaknya adalah hal yang mustahil dilakukan. Lebih-lebih di Banjar. Sulit. Sangat Sulit. Budaya di sini yang masyarakatnya kebanyakan terlampau jatuh cinta sama beras lokal.
Macam-macam beras lokal yang biasa dikonsumsi,tapi kebanyakan dari varietas siam unus, unus mutiara,pandak, ganal dan mayang. Ciri khas beras lokal Kalimantan Selatan itu adalah butirannya kecil dan kalau dimasak relatif karau (pera).
Ada beberapa kerabat yang saya kenal sulit makan nasi kalau bukan berasal dari beras lokal. Banyak yang lidahnya yang tak bisa menerima beras dari luar, apalagi yang jenisnya pulen, masyarakat Banjar biasa menyebutnya beras Jawa.
Bayangkan, urusan jenis beras saja begitu repotnya untuk masyarakat sini. Apalagi mau mencari pengganti beras. Impossible. Mungkin karena itu pula, setiap musim haji, tiap jemaah biasanya dikasih sangu dari pemerintah daerah setempat berupa beberapa kilogram beras lokal untuk dimasak di tanah suci. Sampai sedemikiannya.
Selain jenis beraslokal di atas, sebenarnya ada lagi satu jenis beras yang cukup langka. Soalnya biasanya ditanam di ladang di pegunungan Meratus.
Oleh karena itulah biasa dijuluki beras gunung. Beras ini nomor satu kualitasnya. Kalau dimasak nasinya wangi. Bikin napsu makan makin meningkat.
Dulu pernah atasan saya di kantor cerita, kalau anaknya yang susah makan. Saat makan nasi yang dimasak dengan beras gunung tersebut, justru jadi sering nambah nasi. Sedemikian enaknya.
Beras gunung yang populer di sini adalah jenis buyung. Walau jarang sekali, nyaris tak ditemukan malahan di pasaran. Kalaupun ingin mencobanya,harus langsung berburu ke peladang langsung. Karena sebagian besar beras yang ditanam untuk dikonsumsi sendiri. Sepertinya tanah pegunungan yang kaya mempengaruhi rasa nasi dari beras tersebut.
Untungnya, dikala di tempat lain konon beras agak langka dan harganya sedang naik. Di Kalimantan Selatan masih relatif stabil. Beras masih terjangkau dan tak sampai menimbulkan keresahan. Palingan nanti menjelang bulan Ramadhan ada sedikit kenaikan.
Tapi selama daya beli masyarakat tetap stabil, harusnya sedikit kenaikan tak mengapa. Sekali-kali bikin senang petani karena jerih payah mereka naik kelas. Walau mengingat panjangnya rantai jual beli dari petani sampai ke konsumen menyebabkan keuntungan petani tak seberapa besar juga.