Hujan yang sepertinya turun cukup lama, meninggalkan jejak basah yang indah pada aspal jalanan di pagi hari, menyusurinya pelan-pelan dengan sepeda adalah hal terbaik untuk dilakukan, sekalian membebaskan pikiran yang menerawang dan melayang pada satu titik saja, pada kamu...
Sepagi itu pikirannya berjalan-jalan, mungkin lebih pada terbang, melewati batas-batas yang bisa dipikirkan oleh manusia. Bagaimanapun dia berusaha mengalihkan pikirannya, selalu saja ada sepotong kalimat dari perempuannya, yang terdengar berulang-ulang di atmosfer otaknya :
"Kamu, kapan pulang?"
Padahal, belum lagi dua puluh empat jam, genggaman mereka terlepas di stasiun bis di sudut jalan, tempat yang akhirnya diputuskan untuk sama-sama dibenci karena menciptakan suasana perpisahan yang sama sekali jauh dari romantis, dan akan kembali mereka putuskan untuk dicintai lagi, saat jejak kakinya kembali menapak di tempat yang sama.
Terminal, stasiun, jalanan, perhentian, sudut kota, pojok kafe, trotoar, pepohonan yang menjatuhkan daun dan kembangnya, di manapun, cinta bisa terus jatuh rupanya, berkali-kali tanpa henti, seperti rinai hujan yang turun membasahi bumi tanpa bosan di akhir tahun, seperti itulah rupanya.
Suatu saat, mungkin cukup dengan bersepeda yang membawa awal hingga ke ujung hari, dengan pikiran yang selalu penuh dengan kamu, sampai nanti saatnya pulang, menuju kamu yang tersenyum menungguku dari balik pagar rumah, kita ..
Hari masih teramat pagi, memang. Tapi tak pernah ada batas waktu untuk menumbuhkan rindu selalu, tak ada yang bisa membatasi cinta yang jatuh pada cantik yang sama berkali-kali, tanpa ada henti, tanpa pernah ada keinginan untuk melepasnya, sedetik pun ..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H