Selalu merasa pusing saat berada di jalan pada saat jam-jam sibuk, apalagi saat di kota-kota besar. Selalu saja bertemu orang-orang yang tak sabar dan seperti tak punya otak saja lagaknya. Yang lucu adalah saat di lampu merah, siang-siang yang panas, berhubung jalanan padat, tentu saja tak bakal mengalir dengan lancar, dan satu orang memulai membunyikan klakson dengan nada tak sabar, biasanya menular, barisan di bagian belakang jadi ikut-ikutan membunyikan nada sialan itu.
Klakson harusnya dibunyikan hanya untuk menyuarakan nada perhatian, kalau pun perlu cukup sekali dua kali pencet, tak perlu berkali-kali seakan-akan menyuarakan isi pikiran yang penuh kemarahan. Asli selalu berhasil bikin emosi, apalagi bersahut-sahutan di tengah keramaian, seakan-akan mencari perhatian di panggung jalanan.
Logikanya, kalau jalanan macet, pasti ada sesuatu yang membuat alirannya tersendat, kalau masing-masing bisa sabar, pasti kemacetan juga bakal terurai dengan sendirinya, tak bisa lah semuanya ingin balap-balapan ingin keluar dari belitan macet secepat kilat. Lagian siapa juga yang ingin lama-lama terjebak dalam padatnya lalu lintas.
Lebih lucu lagi kejadian tadi malam, saat ada acara di kampung saya, yang mengakibatkan kejadian langka: macet di jalan yang tak sebegitu lebar. Kejadiannya juga saat malam hari selepas isya, malam lho itu. Di tengah kemacetan ada saja yang tak sabar dan tak tahu diri membunyikan klakson. Apa urgensinya membunyikan klakson di malam hari.
Biasanya sih kalau menuruti legenda dan cerita beberapa orang kawan, klakson yang dibunyikan di malam hari biasanya hanyalah saat melewati jalan yang dianggap angker, semacam kulonuwun bagi penghuni simpangan jalan yang dianggap berhantu.
Masalahnya, ini di pemukiman, di jalan yang memang di hari-hari biasa sangat jarang sekali terjadi macet, kecuali saat banjir yang mengakibatkan beberapa ruas jalan di situ terendam air cukup tinggi. Membunyikan klakson malam-malam, seakan-akan melihat makhluk ghaib saja jadinya. Aneh pisan.
Kalau sudah begitu, jadi rindu dengan suasana jalanan di Jogja, dimana adab akan terlihat di jalan, klakson nyaris tak pernah dibunyikan, kecuali saat pergantian lampu merah ke hijau di bangjo alias perempatan, itu pun pelan dan sekedar memberitahu barisan di depan jika agak telat memutar gas karena menunggu momen pergantian lampu.
Tak perlu memencet klakson berkali-kali, karena toh semua panca indera pengendara lainnya sama-sama lengkap, emosi cukup dialirkan melalui embusan napas, tak perlu lewat bunyi klakson yang sember dan menyakitkan telinga dan hati itu.
Ternyata tak cuma cinta yang tak kenal logika, tapi juga pembunyi klakson di jalan macet.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H