Lihat ke Halaman Asli

R. Syrn

TERVERIFIKASI

pesepeda. pembaca buku

Buat Apa Jadi Kades Lama-Lama

Diperbarui: 22 Januari 2023   12:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber foto: desabira.com

Heboh akibat aksi segerombolan manusia yang mengatasnamakan dan berlindung di balik nama Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Pabdesi) 17 Januari kemarin di depan gedung DPR RI itu menarik juga, sekaligus menyebalkan.  Satu poin penting adalah tuntutan memperpanjang masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun.

Salah satu alasannya, katanya menghindari konflik setiap kali masa pilkades atau pemilihan kepala desa.  Masalahnya konflik itu terjadi kapan, skalanya seberapa besar, pengaruhnya gimana, dan terjadinya di desa mana dan di pulau mana.

Unjuk rasa mempermasalahkan jabatan saja sudah janggal, dengan alasan apapun, jabatan bukanlah hak, tapi amanah, bagaimanapun prosesnya.  Lagian hitung-hitungan 9 tahun itu sudah di luar nalar, jabatan yang terkait erat dengan kekuasaan dan tentu saja pengaturan sumber daya, tentu saja menjadi madu yang ingin dinikmati orang-orang yang cuma berpikiran bahwa uang adalah jabatan.  Apalagi terkait dengan aliran dana desa yang jumlahnya luar biasa, dan seringkali juga malah menjadi masalah dan disalahgunakan.

Saya tidak mengerti seberapa jauh kekuatan kekuasaan seorang kepala desa di pulau lain, di kecamatan tempat saya bekerja sekarang, yang cukup jauh dari pusat kota, perpindahan kekuasaan antar pambakal (nama sebutan untuk kepala desa di sini) berlangsung relatif aman, malah adakalanya kekurangan calon untuk dipilih.

Lebih-lebih desa yang ada letaknya di kawasan hutan lindung, artinya sedikit sumber daya yang bisa dimanfaatkan jika tujuannya adalah untuk kekayaan, kepala desa di sini yang terpilih tugasnya benar-benar mengelola desa dan warganya, soal kemungkinan penyelewengan dana desa misalnya, itu beda masalah lagi.  Tapi kekuasaan kepala desa di daerah yang jauh dari pusat kota sepertinya tak perlu juga diperpanjang sampai begitu lama.

Apalagi masalah ini juga baru berkobar sejak adanya dana desa, dulu rasanya jabatan kepala desa ya biasa saja, di desa saya dulu yang sebenarnya dekat dengan ibukota propinsi warganya juga tak pernah protes terkait figur kepala desa dan masalah masa jabatan.  Biasa-biasa saja.

Tak pelak lagi, protas protes masalah jabatan unfaedah dan tiada guna itu, hanya demi kekuasaan dan uang semata, tak ada lagi.  Sudahlah tak usah mengatasnamakan mempermudah konsolidasi, meredam konflik, dan apapun hal-hal manis lainnya.  

Apalagi terkait hal yang tak relevan seperti hubungan dengan kinerja pemerintah desa, apa hubungannya dengan memperpanjang masa jabatan yang katanya amanah tidak maksimal.  Kalimat apa pula itu, namanya amanah ya amanah, seberapa jangka waktu yang diberikan ya berikan yang terbaik dalam jangka waktu itu.

Intinya, meminta tambah apapun, apalagi sesuatu yang bernama jabatan dengan alasan mengada-ada atau diada-adakan, bukanlah apa-apa selain manifestasi dua buah kata: tamak dan serakah. Apalagi kehendak pribadi berlindung di balik atas nama perkumpulan kepala desa se Indonesia, sungguh tak tahu malu dan tak tahu diri.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline