Motornya berbelok ke kiri jalan, bergegas terburu-buru menuju teras rumah kosong, gerimis yang hadir beberapa detik yang lalu berubah menjadi bulir-bulir yang lebih besar, banyak dan deras. Bumi pun basah. Helm dibuka, rambutnya ada sedikit basah, bahkan matanya basah.
Adalah pertigaan tempat tadi dia berhenti sejenak, melengkapi koleksinya akan foto convex mirror yang semenjak akhir tahun rajin dipasang pemerintah setempat. Dua kali kamera handphonenya diarahkan ke arah kaca melengkung tersebut, tersenyum sendiri, dan saat ingin mengambil foto ketigakalinya, sebuah motor lain melintas, warna biru donker dengan garis hitam yang serasa dikenalnya.
Ada dua penumpang di atasnya, yang di depan sepertinya lelaki tinggi gagah dengan helm yang tampak mahal, di belakangnya adalah seorang perempuan dengan scarf marun, helm merah dengan ..'stiker elang' gumamnya.
Naluri tak nyaman sekaligus perasaan yang tak tentu bentuknya, menyebabkan motornya perlahan bergerak mengikuti motor biro donker, menyusulnya, menjajarinya, untuk kemudian menyalipnya setelah memberi klakson satu kali. King biru malamnya pun melesat, tak peduli dengan dua wajah tertutup helm berkaca gelap yang serentak menoleh ke arahnya. Samar wangi neroli yang dihapalnya seakan menampar penciumannya.
Handphonenya terasa bergetar di saku celana kargonya, dua, tiga, empat sampai tujuh kali. Tapi hanya ada malas bercampur segala rasa tak nyaman tumpah ruah memenuhi rongga kosong di dadanya. Seperti banjir yang pelan-pelan membuat semua terasa sesak. Sampai akhirnya gerimis perlahan seperti bergerak perlahan, menerpa wajahnya, sampai gerimis berubah menjadi hujan, deras.
Mukanya pias. Mengingat-ingat adegan yang baru saja tak sengaja di lihat dan dirasakannya. Helm merah stiker elang, scarf marun, neroli yang lembut.. dan wajah yang tertutup helm, yang dua belas jam sebelumnya berucap ada acara keluarga di luar kota. 213 m dari utara kota, tempatnya berencana membuang-buang waktu, dari rutinitas yang tak bosan dia lakukan, menjemput perempuannya ke kampus, menunggunya di kafe sambil menyelesaikan draft proposal bisnis yang mereka cita-citakan.
Hujan beranjak reda. Gerimis satu-satu, tak sedikit juga tak banyak. Memutuskan untuk kembali membelah jalanan dengan King-nya. Berbalik arak ke titik dimana mereka tadi berpapasan. Intuisinya merasa perempuannya masih tak jauh dari situ, dan sore hari adalah waktunya pulang. Tak pernah meleset sekalipun waktunya pulang, walaupun harus menerabas hujan. Selalu begitu.
Jingga sudah muncul perlahan di ufuk barat, saat lamat-lamat seberkas cahaya dari motor yang seharusnya berwarna biru donker muncul begitu saja dari tenggara, tepat di sisi jurang yang cukup dalam. Dua manusia yang ditunggunya masih juga ada. Dari pertigaan tempat dia menunggu, King sudah siap, melesat begitu saja, seperti garis lurus, menghantam biru donker langsung ke arah jurang yang seakan telah diciptakan untuk menunggu mereka. Dua motor, tiga manusia. Jatuh dalam begitu saja. Segala suara tertelan aliran sungai di dasarnya yang berair coklat, senyap.
Hujan tiba-tiba semakin deras menghunjam bumi, meninggalkan enigma murka yang sia-sia. Tapi apakah cinta telah tiada dan tak ada guna. Hanya tersisa senyum pucat dari perempuannya, dan perlahan malam pun menelannya. Tandas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H