Sewaktu sekolah dasar sampai menengah, rambut selalu menjadi topik yang sepertinya selalu dipermasalahkan para guru. Walaupun ada ketidakadilan, hanya rambut murid laki-laki saja yang tak diperbolehkan panjang. Wanita sih bebas, padahal selalu mengagungkan emansipasi, urusan rambut jadi beda saja. Aneh.
Selalu saja kalau pelajar rambutnya panjang, seakan-akan berandalan, seakan-akan perilaku hanya dinilai dari penampilan, padahal katanya jangan menilai buku hanya dari sampulnya. Makanya dulu selalu kagum dengan sekolah yang memperolehkan muridnya gondrong seperti SMA Gonzaga dan De Britto. Toh, nyatanya justru mereka yang rambutnya panjang itu para murid terpilih, lagian rambut panjang pasti bakal dipelihara biar bagus.
Saat kuliah barulah kebebasan muncul, adanya kesetaraan dalam hal rambut. Sampai-sampai kagum melihat angkatan senior sewaktu opspek yang rambutnya sampai sepanjang punggung, walaupun akhirnya terpaksa dipotong juga sewaktu mau wisuda. Rasanya apa, ya senang saja mengelus rambut yang sudah memanjang.
Sampai beberapa hari yang lalu, pak presiden Jokowi kok ya mengungkit isu lama lagi, mengait-ngaitkan urusan rambut dengan calon pemimpin. Lucunya kali ini dihubungkan dengan warna. Katanya orang yang rambutnya memutih itu mikirin rakyat. Oh, pak presiden itu bukan begitu, walaupun sudah tahu itu cuma kode politik, tapi tetap saja lucu. Apalagi kemudian dikaitkan lagi dengan dahi yang berkerut-kerut.
Yang jelas kalau sudah memutih artinya usianya sudah uzur, mungkin memang dulunya suka memikirkan sesuatu, hal yang penting maupun yang tak berfaedah. Jadinya kalau sudah berubah warna justru harusnya istirahat saja, pensiun sambil senang-senang sama kelaurga di rumah. Bukan malah menambah mumet ngurusin negara segala.
Kenapa gitu tidak disebut bahwa ciri orang pemikir itu rambutnya gondrong. Soalnya mengalami sendiri, bahwa pada saat kuliah itu rambut begitu mudah dan cepatnya memanjang. Mungkin beragam pikiran yang mengalir seiring dengan pertumbuhan rambut.
Justru saat selesai kuliah dan kembali bekerja, rasanya rambut malas-malasan tumbuhnya, macet dan pertumbuhannya seret. Mungkn karena pikiran di kerjaan yang mbulet muter-muter di situ-situ saja. Jadi malah kurang kreatif. Bukannya katanya diperlukan ide-ide inovatif untuk mengangkat negara ini dari segala keterpurukan?
Nah, makanya sesekali lah pak presiden, atau siapapun, tengoklah potensi di balik kepala-kepala yang rambutnya panjang dan selalu dipandang marjinal tersebut, jangan cuma fokus pada rambut yang memutih dan kening berkerut, yang seringkali justru membuat urusan makin kusut.
Sejatinya mikir dan memimpin kan pakai otak, bukan pakai rambut. Lagian nanti malah jadi diskriminatif, bukankah setiap warga negara ini berhak untuk menjadi pemimpin, lalu bagaimana nasib rakyat yang tak punya rambut?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H