Di Banjar itu seringkali menggunakan huruf a dan i sebagai pengganti huruf e, misalkan sepeda biasa disebut sapida. Seperti judul di atas, itu kurang lebih dibacanya mewarung, artinya kebiasaan ke warung bagi sebagian orang yang biasanya dilakukan setiap pagi harinya.
Mawarung maknanya adalah nongkrong di warung makan, bisa warung yang cuma menyediakan wadai alias kue atau gorengan, bisa juga yang menyediakan sarapan yang agak berat seperti nasi kuning dan lontong.
Mungkin akibat tidak sempat sarapan di rumah, mungkin juga karena makan kue sambil minum teh hangat di warung lebih menyenangkan karena bisa ngobrol dengan banyak orang.
Warung-warung yang menyediakan sarapan itu biasanya tersebar di sekitar pasar atau perkantoran pemerintahan bahkan di kampus, biasanya dilengkapi dengan meja panjang bertaplak plastik dan bangku panjang yang terbuat dari kayu.
Acil (bibi) saya sendiri pas dulu berkunjung ke Jogja, saat pagi hari yang pertama ditanyakan beliau adalah dimana ada warung yang buka. Sedikit bingung memenuhi permintaan beliau, karena untuk bikin sarapan di penginapan pun rasanya tetap kurang nyaman. Untunglah di dekat kos ada warung makan yang sudah buka pagi-pagi. Baru beliau senang saat bisa minum teh hangat di warung tersebut.
Terkadang menyenangkan juga sekilas mendengarkan obrolan bapak-bapak di warung sepagi hari, membicarakan isu-isu yang sedang ramai, ataupun cuma membicarakan tentang kehidupan sehari-hari.
Pembicaraan yang hangat di warung saat pagi hari, ditemani makanan dan minuman hangat, rupanya salah satu cara untuk berinteraksi dan juga membuat semangat tersendiri sebelum mulai bekerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H