Lihat ke Halaman Asli

R. Syrn

TERVERIFIKASI

pesepeda. pembaca buku

Menyoal Keributan Makanan yang Pelik dan Sedikit tentang Organoleptik

Diperbarui: 18 November 2022   19:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto mie dari jurnalgaya.pikiran-rakyat.com

Sejatinya makanan memang untuk dimakan dengan nikmat, bukan malah untuk bahan debat.  Tapi yang namanya manusia, ada saja yang merasa panca inderanya yang paling sakti mandraguna.  Seakan-akan makanan yang cocok dengan selera, lidah dan pengalamannya itulah yang terbaik dan paling top se-nusantara.

Sementara netizen akhir-akhir ini juga rasanya sedang berada di puncak kulminasi tertinggi untuk berdebat di medoa sosial, apa saja didebat, urusan makanan rupanya salah satu objek menarik untuk diperdebatkan.  Sedari masalah nomenklatur makanan semisal martabak manis versus terang bulan, onde-onde melawan klepon, bubur diaduk dan tak diaduk, terakhir yang paling aktual terkait masalah mie yamien.

Untungnya itu salah satu jenis makanan yang jarang dimakan dan tak termasuk makanan favorit, lagian kalau urusan nomenklatur dan urusan bubur itu lebih ke arah lucu-lucuan, sih.  Tapi urusan mie itu agak-agak serius, seakan-akan mendewakan persepsi pribadi, bahwa mie yang paling enak itu haruslah memenuhi standarnya.

Sebenarnya itu toh sah-sah saja, karena indera perasa orang kan beda-beda, apa yang menurut satu orang enak belum tentu juga enak bagi yang satunya.  Ada yang sensi terhadap persepsi sepertinya dikarenakan bawa-bawa nama daerah, bahwa secara garis besar varian mie di Jogja itu tak ada apa-apanya dibanding di Bandung.

Bayangkan urusan makanan saja jadi seakan-akan perang pendapat antara netizen dua provinsi, atau para pembela lidah wong Jogja dan indera perasa urang Sunda.

Barusan membaca pendapat Memeth, seorang kawan yang asli Jogja dan sekarang bermukim di seputaran Bandung, bahwa katanya pada dasarnya suatu makanan pada saat jauh dari tempat asalnya, biasanya akan menyesuaikan dengan selera masyarakat setempat.  Jadi tentu saja misal gudeg khas Jogja, akan beda jauh rasanya dengan gudeg yang mungkin ditemukan di pedalaman Kalimantan.  Atau misal nasi tutug oncom yang khas Bandung mungkin akan berasa jauh rasanya di lidah urang Sunda yang mencicipnya di pulau Sulawesi.

Persis seperti bagian dari kisah Negeri 5 Menara, dimana ayahnya Alif mengatakan bahwa rendang, semakin menjauh dari kampung Minang akan semakin tidak pedas lagi, dan relatif dominan manisnya.  Hal tersebut tentu saja logis karena makanan sebagai objek bisnis, menyesuaikan selera konsumen jika ingin laku. 

Mungkin itu penjelasan logis dan menjadi jalan tengah bagi yang berdebat masalah rasa.  Sebenarnya kalau ingin fair, kata Memeth, coba saja untuk membandingkan menu makanan asli di kampung asalnya dengan menu yang sama tapi sudah mengalami perubahan rasa di kampung nan jauh di mata.

Tapi ya mau gimana lagi, sekalipun menu yang sama di lidah orang yang berbeda seringkali akan berbeda pula penilaiannya.  Makanya dalam sebuah penelitian terkait rasa makanan, jamaknya dilakukan uji organoleptik yaitu cara pengujian dengan menggunakan indra manusia sebagai alat utama untuk pengukuran daya penerimaan terhadap produk.  

Pengujian tersebut tentu saja melibatkan sekelompok orang untuk diujicobakan, baru nanti diambil kesimpulan dari uji yang meliputi indera peraba, penglihatan, perasa.  Uji ini biasanya untuk produk makanan yang akan dipasarkan sebuah perusahaan dan harus disesuaikan dengan selera masyarakat setempat. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline