Jauh sebelum partai jumlahnya puluhan seperti sekarang ini, bang Rhoma sudah terjun ke dunia politik yang sangat tidak dinamis, dimana partai politik cuma ada tiga, dan setiap pemilu hasilnya sudah bisa diduga pula. Walau beliau tidak mengaku sebagai bagian dari konstituen, nyatanya dulu tampil sebagai bagian dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di tahun 77 sampai tahun 80-an. Akibat dukungannya terhadap partai berlambang ka'bah itu, pemerintah yang merupakan perwujudan dari partai berlogo beringin sampai baper dan melarang bang Rhoma tampil di TVRI kala itu. Tak tanggung-tanggung sepuluh tahun dilarang tampil di televisi, luar biasa sekali kekuasaan di jaman orde baru itu.
Kampanye yang menghadirkan Rhoma Irama, sudah dipastikan dihadiri banyak pendukung dan penonton di lapangan, walaupun demikian anehnya partai berasaskan agama itu tetap saja tak pernah menang di pemilu sepanjang orde baru. Dua partai selain Golkar tak lebih dari sekedar penggembira saja rasanya di jaman dahulu.
Tapi perjalanan politik Rhoma tetap relatif stabil, hingga pada tahun 1993 ditunjuk Pemerintah menjadi anggota MPR sebagai Utusan Golongan yang mewakili seniman dan artis. Walau akhirnya pada tahun 1997, akhirnya berubah haluan dan bergabung dengan partai Golkar.
Saat orde baru runtuh, Rhoma Irama malah sempat diusung Partai Kebangkitan Bangsa sebagai calon presiden untuk pemilihan presiden tahun 2014, tapi gagal karena perolehan suara PKB yang tidak memungkinkan. Tahun berikutnya malah mencoba masuk Partai Bulan Bintang (PBB), tapi lagi-lagi gagal karena kalah pamor dengan pimpinan partai. Akhirnya malah mendukung capres Prabowo dan Hatta Rajasa saat kampanye di tahun 2014, walaupun yang didukungnya juga akhirnya gagal maju jadi presiden.
Sampai akhirnya memutuskan mendirikan partai politik sendiri, yaitu Partai Idaman, yang merupakan akronim dari Partai Islam Damai dan Aman yang dideklarasikan tujuh tahun silam. Walau lagi-lagi usahanya untuk terjun di dunia politik harus terganjal karena partainya dinyatakan tak lulus verifikasi di tahun 2017. Sayang sekali, padahal sudah bersiap-siap untuk nyoblos beliau jika jadi capres dengan diusung partai sendiri, apa daya, partai idaman menjadi tinggal impian. Ujug-ujug setahun kemudian akhirnya malah bergabung dengan PAN, karena diangggap memiliki kesamaan politik.
Lama tak terdengar kabar politiknya lagi, ternyata pada kuartal pertama tahun ini, Ketua Umum Partai Golkar menyatakan bahwa bang Rhoma bergabung kembali dengan partai berlambang pohon tersebut. Duh.
Melihat jejak perjalanan bang Rhoma di dunia politik, tampaknya dunia tersebut memang tidaklah cocok bagi beliau. Mungkin lebih baik berada di belakang layar, menyentil dan mengingatkan para politikus dengan lagu-lagunya, seperti pada lagu Indonesia, yang berisi kekhawatiran akan pengelolaan sumber daya alam di negeri ini. Atau lagu 135 juta yang mengingatkan akan keragaman negeri Indonesia, walau liriknya selalu berubah-ubah sepanjang tahun seiring pertambahan jumlah penduduk. Sesuai dengan kalimat Bhinneka Tunggal Ika. Hal yang sepertinya selalu terlupakan sesaat setelah masa pesta politik berakhir.
Atau mungkin lebih baik memang bernyanyi saja, mendendangkan lagu syahdu untuk menghibur penggemarnya, yang bertahun-tahun diberi janji manis sampai perlahan hilang dan tinggal sepahnya yang selalu terbuang. Mainkan musiknya, bang!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H