Lihat ke Halaman Asli

R. Syrn

TERVERIFIKASI

pesepeda. pembaca buku

Pakaian Adat Bukanlah Paksaan dan Jangan Sampai Memberatkan

Diperbarui: 25 Oktober 2022   09:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto kain sasirangan dari  id.theasianparent.com

Sejak terbitnya Peraturan Mendikbudristek Nomor 50 Tahun 2022 tentang Seragam Sekolah yang dalam pasal 4 menguraikan tentang 'kemungkinan' Pemerintah Daerah untuk dapat mengatur tentang pakaian adat bagi siswa.  Berbaik sangka saja bahwa itu tujuan utamanya baik sebagai salah satu cara untuk memelihara budaya adat di negeri ini.

Tentu saja tak dipungkiri pula, kenapa ada aturan yang memberikan wewenang kepada pemerintah daerah terkait hal tersebut, karena sekarang kementerian tersebut kembali ke jaman dulu, dimana pendidikan dan kebudayaan disatukan dalam satu lembaga, jadi ada integrasi dan kordinasi di antara Dirjen di dalamnya dalam mengemban visi dan misi kementerian.

Selain itu, sebelum berpikiran yang tidak-tidak akan hadirnya Peraturan Menteri yang terbit tanggal 22 September 2022 itu, kebijakan baru itu tak serta merta bisa langsung diterapkan oleh kepala daerah dengan serta merta menerbitkan Peraturan Kepala Daerah terkait hal tersebut.  Tentunya melalui proses pemikiran dan juga dengar pendapat dengan publik selaku pengguna aturan yang diterbitkan.

Aturan terkait seragam itu pun kalau dibaca bukanlah suatu keharusan, tapi lebih bersifat himbauan, karena ada kata 'dapat' yang terselip dalam pasal 4 yang lengkapnya seperti berikut  :"...PemerintahDaerah sesuai dengan kewenangannya dapat mengaturpengenaan pakaian adat bagi Peserta Didik pada Sekolah"

Sebenarnya terkait pakaian adat ini, bisa diintegrasikan dengan aturan pada pasal 3 terkait dengan himbauan bahwa ".. Sekolah dapat mengatur Pakaian Seragam Khas Sekolah bagi Peserta Didik"

Seperti di sekolah-sekolah di Kalimantan Selatan, rata-rata yang setiap sekolah mengenakan seragam yang berbahan kain batik khas Sasirangan.  Itu saja sebenarnya sudah mewakili budaya dan pakaian adat khas daerah.  Bukankah adat sendiri sebenarnya adalah gagasan kebudayaan yang merupakan manifestasi kebiasaan yang dilakukan sejak dulu.

Menjaga budaya tentu jangan sampai juga membebani banyak pihak, lebih-lebih jika kebijakan terkait hal tersebut malah lebih diperhatikan alih-alih fungsi utama pakaian seragam sebagai identitas siswa sebagai penunjang proses belajar mengajar di sekolah.  Jadi, sebagai jalan tengah mungkin tak perlu ada lagi tambahan pakaian adat yang relatif berbeda di setiap daerah, baik dalam hal corak, motif dan jenisnya.

Mungkin tak masalah jika pakaian adatnya bisa mengambil bentuk sederhana seperti baju lurik di Jawa Tengah dan Jogja, karena harga bahannya relatif murah dan sudah jamak untuk dipakai bahkan untuk harian tapi tentu menjadi masalah jika mengikuti pakaian adat di tempat lain yang selain jarang dipergunakan, harganya tentu saja tidak murah.

Jadi, sebagai jalan tengah, sekali lagi lebih bijak menggabungkan pakaian khas sekolah dengan budaya setempat, seperti seragam Sasirangan di atas, atau baju lurik, atau penggunaan kain batik lokal setempat, tentunya tak usah menggunakan bahan yang mahal.  Pun, haruslah ada keringanan mungkin berupa subsidi bagi siswa yang tidak mampu, tentunya selektif berdasarkan kemampuan siwa dan orangtua yang ekonominya beragam.

Demikianlah, semoga pemerintah daerah bisa bijak dalam menyikapi kebijakan himbauan terkait pakaian adat dari Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi tersebut, sehingga keinginan pemerintah tercapai sementara pendapat dan keadaan masyarakat pun tetap dapat dinilai dan dihargai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline