Di teras rumah itu ada sebuah bangku panjang dari kayu, kayu setengah utuh yang dibikin sebisanya menjadu kayu dengan artistik tinggi entah oleh siapa. Aku samar-samar teringat seorang gadis duduk di situ, bertopi merah berbaju kuning dari bahan rajutan, di sampingnya ada seekor kelinci berwarna putih, lalu seekor ikan berwarna pelangi dalam akuarium kaca berbentuk bundar.
Mereka berjejer dari kiri ke kanan, seakan-akan pajangan yang di susun untuk menyambut seorang tamu istimewa: aku. Gadis bertopi merah tersenyum lebar melihatku datang, menyodorkan kedua tangannya untuk menyambut tangankuk yang tiba-tiba terulur tanpa bisa kukendalikan, aku ditariknya ke dalam rumahnya.
Rumah yang tak begitu luas, tapi ruang tamunya menakjubkan, bersih dan kering, berlapis karpet abu-abu yang katanya dari kulit beruang yang diberikan oleh seorang pemburu pada bapaknya dua puluh satu silam. Odung, katanya menyebut nama pemburu itu, entahlah sekilas seperti pernah mendengarn nama itu entah dimana.
Ada satu televisi yang terletak tidak simetris di sisi utara, rupanya supaya pas berada di bawah lukisan tua yang menggambarkan rumah itu di masa awal dibangun, rumah dari papan yang disusun rapat dengan kuncian sederhana di bagian ujung-ujungnya, dari serat kayunya sepertinya adalah Shorea yang cukup tua, dipapas seadanya dengan gergaji besar, yang paling tidak dikerjakan oleh dua orang, pikirku.
"Utari", gadis itu tiba-tiba kembali menyodorkan kedua tangannya, mengajak bersalaman dan mengenalkan dirinya,
"Rabu", balasku.
Entah siapa yang memulai, kami tiba-tiba masuk dalam arus percakapan, tentang pohon-pohon di sekitar rumahnya yang satu-satu persatu hilang dijarah oleh warga kampung tetangga, tentang cuaca yang sudah tidak lagi tentu, terkadang petir bisa tiba-tiba muncul di saat matahari sedang terik, tentang kolam samping rumah yang untungnya masih saja berair jernih dan menjadi rumah turun menurun keluarga katak hijau dan ikan berwarna pelangi, yang akan tetapi minta dipindahkan ke akuarium beberapa tahun silam, menyendiri di situ sampai sekarang.
Aku pun membalas kisahnya, tentang perjalananku dengan kereta api yang jalannya tersendat dan kadang terbatuk-batuk, dan selalu singgah di stasiun kecil padahal tidak ada satu pun penumpang yang akan naik. Betapa rel-rel berbunyi berderit-derit seakan berabad-abad tak dilewati. Juga bagaimana susahnya melewati jalur tanjakan karena masinis harus memasangkan rantai baja satu-persatu ke roda kereta, dan bagaimana semua penumpang yang tak sampai seratus jumlahnya, dengan senang hati membantu sambil tertawa ceria.
Juga tentang awal bagaimana undangannya yang tertulis rapi dengan tinta biru tua, sampai ke rumahku yang padat dengan bangunan beton dan jalanan yang juga tak kalah padat oleh semen yang menghalangi air hujan masuk kembali ke bumi sehingga banjir menjadi sahabat kami bertahun-tahun namun tetap enggan beranjak. Seorang pak tua berseragam oranye terhean-heran mengangsurkan surat selebar sampul surat berwarna biru pupus dengan tiga garis merah yang samar, ke arahku. Tak lama setelah aku turun dari motor tuaku, sore saat sepulang dari pabrik.
Percakapan kami rupanya cukup panjang, sampai tak sabar kelinci putihnya membawa tiga ekor kelinci lainnya masuk ke dalam rumah, sore sudah mulai tergelincir, sepertinya saat ini aku harus menghentikan ceritaku tentangnya. Mungkin besok aku akan meneruskan ceritaku, tentang suatu hari yang dimulai dengan pertemuan Utari dengan Rabu, aku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H