. sebenarnya sudah aku menuliskan tentang obrolan pengantarku pulang setelah hening memuai di ujung timur kota.
tapi sejenak di kursi biru, tergoda akan baris biru di kanan tempat ruangan baru terbuka
keinginan menandak-nandak dari pusaran kepala yang berdenyut tak henti-henti
sekilas bayanganmu malu-malu mengintip masuk, ragu ingin mencuri waktu, melebur dalam lembar kertas yang pernah aku kirimkan diam-diam. untuk kemudian kau robek dan hamburkan sampai melayang lalu pelan menghilang
apakah kau pernah peduli itu?
kau yang bertahun menjelma adinda dan bertahta di langit selatan Jogja, mungkin masih ada sezarah aku dalam hari-harimu. atau detik silam hanyalah sebaris kalimat pias dalam catatan harianmu, yang dulu pernah kau ijinkan aku untuk masuk ke pusaran renjanamu.
semenjakala beningmu akan selalu menggulung alam hidup, kala senja tak terasa menjelma embun pagi.
niscayalah kehadiranmu, selalu..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H