Mendengar nama sarana transportasi bernama kereta (api), tentu saja akan membawa kenangan ke tahun 1997, saat album Pandawa Lima-nya Dewa 19 baru rilis.
Itu adalah di masa banyak hal baru yang saya temui dan rasakan. Sebagai salah satu syarat untuk bisa ujian skripsi, adalah diwajibkan untuk melakukan praktek di hutan jati yang cuma ada di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Tengah.
Jadilah akhirnya untuk pertamakalinya menaiki kapal laut menyeberang ke pulau yang juga untuk pertamakalinya dipijak, setelah pelaksanaan praktek lapangan usai, akhirnya tercapai juga keinginan untuk naik kereta yang sedari kecil cuma tahu dari lagu tut tut tut..
Dulu di daerah saya, sejarahnya ada rel kereta api, tapi konon dulu digunakan untuk mengangkut batubara, tapi itupun tinggal cerita. Tidak ada bukti yang tertinggal atas sejarah tersebut selain seruas jalan bernama Reel di salah satu sudut kota kecil.
Kereta pertama yang saya naiki adalah kereta ekonomi Gaya Baru Malam dari Stasiun Lempuyangan menuju Stasiun Jakarta Kota, waktu jaman itu belum ada penomoran kursi sesuai tiket, masih ada yang jualan di dalam kereta yang penuhnya lumayan, dan kereta benar-benar mentok sampai ujung rel Jakarta Kota.
Walaupun kereta ekonomi jaman segitu terasa gerah karena tidak ada AC, belum lagi yang jualan lalu lalang, walaupun keberadaan mereka sangat membantu saat ada penumpang yang merasa haus atau lapar, karena tinggal panggil dan harganya pun relatif murah.
Walau waktu perjalanan sedikit relatif lebih lama dibanding sekarang dan kebetulan pas tengah malam entah sudah sampai mana, saya dan rombongan kawan waktu itu mendapatkan kejutan berupa lemparan batu yang menghantam kaca jendela. Luar biasa sekali perjalanan pertama waktu itu.
Setelah subuh sampai ibukota, perjalanan masih belum berakhir karena tujuan akhir adalah kota hujan: Bogor. Jadi perjalanan dilanjutkan lagi dengan KRL yang waktu masih membolehkan penumpang naik sampai ke atas atap, untungnya perjalanan ke Bogor di waktu pagi hari yang relatif sepi, karena itu waktunya kereta dari arah Bogor menuju Jakarta yang dipenuhi penumpang.
Kereta listrik waktu itupun tak jauh beda dengan kereta ekonomi jarak jauh, selain dipenuhi penumpang, juga terkadang lewat yang jualan macam-macam: dari makanan, minuman, mainan sampai piranti macam-macam. Terkadang lewat juga yang nyapu lantai kereta sambil meminta imbalan, tak ketinggalan pengamen yang kadang bisa muncul di tengah-tengah lorong kereta.
Walaupun di tahun 90-an kereta yang berlabel ekonomi bisa dipastikan murah, gerah, penuh dan sumpek, toh nyatanya saya sangat menikmati perjalanan yang bisa dibilang merupakan kesempatan langka, transportasi massal yang murah dan belum pernah dirasakan selama hidup di Kalimantan. Sungguh ndeso sekali, ya.
Kenangan itu tak akan pernah terlupakan dalam hidup saya, sampai hingga sekarang saat berada di pulau Jawa saya sempatkan untuk menaiki kereta, yang sekarang bertambah ragam jenisnya, salahsatunya adalah kereta bandara. Dan tentu sekarang jauh lebih nyaman dibanding jaman dulu, jauh lebih baik sementara harga tiketnya tetap lebih murah dibanding transportasi massal lainnya.