Kudekatkan indera pendengaranku ke arah pintu kamar berwarna keemasan, yang terbuat dari kayu jati. Ukiran literatur kembang tergambar jelas di pintu kamar itu. Dari dalam sana terdengar suara isak tangis yang seduh sedan. Dalam hatiku bergumam kenapa lagi adikku menangis.
Aku yang masih berseragam putih abu-abu belum sempat menanggalkan seragamku. Kemelut perasaanku mendengar tangisan adiku Toto, pasti ia dimarahi Ibu lagi atau dimarahi Bapakku lagi. Aku mengetuk pintu memanggilnya.
" Toto buka pintunya dek, kakak mau masuk," ijinku. Saat ia membuka pintu kamarnya rupanya masih berseragam sekolah juga. Matanya merah sembab, setiap hari ia menangis bertarung dengan air matanya. Kemudian ia merangkul pingangku.
" Kena marah lagi ya dek". Aku mengusap air matanya yang merebak di pipinya. Menenangkanya, setiap kali aku merangkulnya ia selalu tenang. Sejujurnya kondisi aku dan adikku sama saja. Kami berdua sering dimarahin bedanya air mataku lebih banyak kusimpan dalam hati, ketimbang Toto yang masih kecil ia lebih leluasa menangis, mungkin karena aku sudah besar dan mengerti cara menyembunyikan rasa sedih.
" Kak kita minggat saja ke rumah Nenek, Toto capek kak dimarahin Ibu terus," bujuk Toto.
" Mmmm kamu ganti pakain ikut kakak bantuin bik Surti jualan, nanti kita makan di warung bik Surti," ajakku pada Toto.
******************
Jauh sebelum Toto lahir, peranggai Ibuku dan Bapaku memang kasar, kondisi ke uangan yang tidak stabil, penghasilan tak menentu ditambah jauh dari ajaran agama membuat kedua orang tuaku memiliki sifat yang beracun. Dulu Bapakku memiliki pekerjaan sebagai bendahara desa gajinya lumayan mencukupi kebutuhan kami.
Tapi karena ibuku terlalu konsumtif dan memiliki banyak hutang, itu membuat Bapakku bekerja tidak jujur banyak mengelapkan dana desa. Alhasil Bapakku di pecat. Semenjak itu kehidupan ekonomi kami terombang-ambing, dan yang menjadi sasaran emosi mereka berdua yaitu ke aku dan Toto. Sungguh aneh di tengah masalah ekonomi yang kurang kondusif mengapa kemarahan mereka tumpahkan kepada kami. Tidakkah mereka sebelum membangun rumah tangga ini berdiskusi bagaimana menghadapi misteri kehidupan di segala keadaan yang tidak bisa dijamin.
Aku bahkan tidak mengerti salah kami apa?, sebagai anak semua perintah kedua orang tuaku kami turuti. Setiap hari aku selalu bangun sebelum subuh menyiapkan sarapan, bahkan pulang sekolahpun aku harus memasak nasi memasak lauk. Setiap kali pulang sekolah tak ku jumpai makan siang di meja makan.
Ibukku lebih banyak menghabiskan ke rumah tetangga bergosip dengan sealiran dengan kebiasaanya. Sementara Bapakku kerja sebagai tukang ojek setelah dipecat dari pekerjaan lamanya. Kadang suka kasihan lihat adikku Toto kalau aku belum pulang dari sekolah ia selalu merasa kelaparan. Ibuku tak pernah menghiraukan akan itu. Sedih rasanya di tengah kehidupan keluarga begini. Kalau sudah begini rasanya surga di telapak kaki ibu hanya ungkapan yang tak bermakna. Apa masih ada surga di telapak kaki ibu yang toxic .
Setiap kali Toto mengadu lapar bila pulang sekolah, bukanya memasak lauk pauk dan nasi. Ibuku mala mengerutu dan menyuruh masak sendiri. Kadang juga Toto membantu aku menyelsaikan pekerjaan rumah. Waktu istirahatku cuma malam. Kalau siang selepas pulang sekolah aku ikut bantu jualan makanan di warung bik Surti.
Jika Bik Surti tidak jualan kadang aku menawarkan jasa buat nyuci pakaian, nyetrika pada tetangga. Syukurnya pekerjaan itu selalu ada setiap hari dan aku sengaja membuat tulisan di kertas karton untuk menawarkan diri buat melakukan tugas tugas tersebut. Bayaran
paling mentok Rp 75.000,00 dan paling kecil Rp 25.000,00
Lumayan buat ongkos sekolah dan buat jajan Toto.