Lihat ke Halaman Asli

Rizky C. Saragih

Public Relations

Hampir Saja, Pulang Nama

Diperbarui: 1 Juni 2016   12:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="Sumber: kapal-penumpang-pelni.blogspot.co.id / Ilustrasi"][/caption]SEORANG jurnalis, penuh suka dan duka, ketika meliput berita, tak jarang menghadapi berbagai rintangan, seperti “onak dan duri”, penuh resiko, bahkan, nyawa sekalipun jadi taruhannya, kendati demikian, tetap berjuang keras, berupaya dengan segala cara, agar dapat memperoleh berita yang enak dibaca dan perlu.

Ketika itu, saya bersama teman, ditugaskan oleh pimpinan redaksi sebuah majalah intern BUMN, untuk meliput sebuah objek wisata di kepulauan Nias. Kami dari Jakarta berangkat dengan kapal laut PELNI. 

Dari pelabuhan Tanjung Priok kapal berlayar dengan tenang, “melenggang, berayun-ayun”, kita pun terkantuk-kantuk, berselonjor di kasur empuk di ruang Kelas I, wah… weunak tenan, layaknya seperti berada di ruang hotel berbintang, dan rasanya hilanglah rasa lelah, capek, bayangkan… tadinya sebelum kapal bertolak, dengan cuaca terik matahari yang panas menyengat, kami menunggu kapal yang sedang bongkar-muat, cukup menyita waktu berjam-jam lamanya, yaa… menjemukan juga.

Beberapa jam kapal berlayar, melalui pengeras suara, penumpang diundang untuk makan siang di tempat ruangan yang telah dipersiapkan. Ruang makan Kelas I dan pelayanannya, berbeda dengan beberapa kelas lainnya, ya pantas-pantas saja dan wajarlah, tentunya ini disesuaikan dengan harga tiket. 

Kapal melaju dengan cepat, beberapa jam kemudian kapal pun tiba di pelabuhan Sibolga dan sandar untuk bongkar-muat. Kami pun turun ke darat, melemaskan otot-otot yang pegal, sambil menikmati kopi hangat penghilang kantuk dengan kue khas spesifik penduduk setempat.

Kapal bertolak kembali menuju pelabuhan terakhir, armada PELNI yang cukup modern ini pun telah mengapung-apung di tengah-tengah lautan samudra lepas, tidak lagi kelihatan kapal-kapal kecil, tongkang-tongkang nelayan pencari ikan dan bangunan-bangunan pencakar langit yang ada di sekitar pelabuhan Sibolga pun, sirna dari pandangan mata. 

Tiba-tiba saja kapal bergoyang, ber-ayun-ayun, dan goyangannya pun semakin keras, saya pusing, mabuk…, untung saja gak keluar yang “ijo-ijo” dari perut, hehehe…, teman sekamar saya, dia tenang-tenang saja, gak mabuk dan dia rupanya telah meminum obat anti mabuk, serta-merta saya pun turut meminumnya, Alhamdulillah, kemudian berangsur-angsur reda, dan kami pun beranjak ke anjungan kapal, menikmati indahnya lautan yang maha luas ciptaan Allah, subhanallah…, terlihat pula ikan lumba-lumba yang lucu-lucu, berenang-renang, balapan dengan lajunya kapal.

Beberapa jam berlayar, kapal pun berlabuh dan sandar di pelabuhan Gunung Sitoli, kami dijemput oleh Kepala Cabang, kemudian diantar menuju ke hotel untuk tempat kami beristirahat, dan sejenak kami bertiga berkoordinasi dahulu sebelum pak kepala cabang pamit, guna mempersiapkan segala sesuatunya, untuk keberangkatan besok harinya, peliputan berita wisata di Teluk Dalam. Ada makan, ada minum, baik saat di kapal, ataupun makanan khas yang dijamu oleh bapak-bapak kepala cabang Sibolga dan Nias.

 Wah… ada tanda-tanda mau buang hajat, buru-buru ke toilet, buka kran dulu, setetes air pun gak mengalir, untung saja “bom” belum diledakkan, kalo gak berabe. Berbarengan saat itu, room boy menghampiri, dia mahfum apa yang terjadi, “pak, di hotel ini air PAM pake jam-jaman keluarnya, ntar setengah jam lagi yaa, baru ngocor”, katanya sambil berlalu, dari dialek bahasanya, sepertinya dia bukan orang daerah setempat. Untunglah “bom” yang akan diledakkan bisa di “amankan”, tapi akibatnya, keringat sebesar butiran kacang ijo, mengalir, menetes, menahan hajat besar yang tertunda.

Esok harinya kami berangkat dengan guide-nya bapak Kepala Cabang PELNI Gunung Sitoli, asli daerah setempat, dengan mengendarai mobil dinas, kami berangkat dengan supir, naluri seorang jurnalis mulai bekerja, mengamati jalan yang dilalui, berbatu dan berlobang, kurang nyaman di atas kendaraan, tentunya. 

Di sepanjang jalan, di halaman rumah–rumah penduduk, banyak digelar tikar untuk menjemur daun nilam untuk diolah dijadikan minyak. Rumah-rumah mereka, gak permanen-permanen banget, sederhana, tapi… antene parabola menjulang, bertebaran di wuwungan atap rumah mereka, saya berdecak, waaah…! Rupanya pak kepala cabang bisa membaca pikiran saya, “yaa, itu hasil dari kebun nilam mereka, yang harga jualnya lumayan mahal”, ujar pak kepala cabang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline