Lihat ke Halaman Asli

Suatu Senja di Akhir Tahun

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tepat pukul 3 sore, Yono sudah berada di terminal Ubung. Perasaannya semakin galau. Ia tercenung dekat gerbang keluarnya kendaraan angkutan umum. Tangan kanannya merogoh kantong celana jean dan kembali dihitungnya uang yang sedari tadi masih saja lima puluh ribu rupiah. Itu sisa ongkos perjalanannya dari Terminal Batu Bulan ke Terminal Ubung. Masih tersisa 3 kali naik angkutan untuk bisa sampai ke rumahnya di kampung. Ini tidak cukup, begitu pikirnya.

Yono duduk di sebongkah batu yang kebetulan ada di situ. Lalu lalang kendaraan angkutan umum tidak mengusiknya untuk kembali melamun.

Seharusnya Yono sudah meninggalkan Pulau Dewata ini tanggal 23 Desember kemarin. Ia rindu bermalam natal bersama ayah ibu serta adik-adiknya. Tapi kesempatan itu lenyap, ini semua karena ulah sang juragan yang tiba-tiba menghilang dari rumah. Terpaksa ia menggantikan beberapa tugas yang tidak harus dilakukannya. Bagaimana tidak, jika Yu Lastri - istri sang majikan tengah hamil tua dan mendadak akan melahirkan, malangnya sang suami justru sudah 3 hari tidak pulang entah kemana.

Lebih malangnya lagi, Cak Gino-Si Juragan ternyata bukan pergi begitu saja, uang simpanan istrinya untuk persiapan kelahiran anak kedua mereka juga dilibasnya tanpa sisa. Yono tidak habis pikir, kenapa ada manusia yang mampu melakukan kekejian macam itu, bahkan kepada keluarganya sendiri.

Pagi itu, 23 Desember. Yono sudah libur kerja. Tinggal 2 temannya yang masih berjualan. Sengaja ia ingin bangun agak siang. Tugas belanja daging ke pasar sudah dilimpahkan pada temannya. Rencananya, ia akan berangkat pulang kampung sore ini. Tapi hari baru saja pukul 9 pagi,… teman-temannya juga belum lama berangkat ke pos masing-masing untuk berjualan bakso, tiba-tiba ia mendengar ketukan pintu kamarnya, suara Yu Lastri memanggilnya.

“Yon, … Bangun Yon,… tolong aku…!”

Yono segera membetulkan sarungnya, dan berjingkat ke arah pintu. Dibukanya daun pintu itu secukup kepalanya dapat melongok ke luar.

“Ada apa, Yu…?”

“Sepertinya aku mau melahirkan. Tolong antar aku ke rumah sakit ya!!!???”

“…o..a… i..yaaa… Yu… bentar Yono ganti baju dulu.” Yono bergegas ganti pakaian. Sementara Yu Lastri menunggunya di ruang depan sambil merintih-rintih.

Sebentar kemudian Yono berlari lari kecil mendekati Yu Lastri, nampaknya ia tidak mandi, hanya cuci muka. Rambutnyapun seperti habis disisir pakai jari.

“Hanya bawa tas ini saja Yu…?” Tanya Yono sambil meraih tas pakaian yang berada disamping Yu Lastri duduk.

“Masih ada lagi Yon…. Uang simpanan buat biaya rumah sakit. Aku taruh di koper besar di atas lemari dalam kamarku,…” Ujar Yu Lastri sambil mengulurkan sesuatu pada Yono,”Ini kuncinya, kamu bawa saja semua…!”

“Iya iya,… Yu…!” Sahut Yono seraya menerima sebuah kunci dari tangan Yu Lastri dan segera berbalik menuju kamar istri Juragannya itu.

Baru selangkah Yono balik kanan, “Ada berapa uangnya Yu…?”

“uffff…. Ee.a..aa… kurang lebih delapan ratus ribuan… aku lupa…”

Yono langsung berbalik dan berlari kecil ke kamar Yu Lastri. Ia segera menuju ke almari Besar yang cukup tinggi juga ternyata. Pantas Yu Lastri tidak bisa mengambilnya sendiri dalam keadaan seperti saat itu. Yono saja harus mengambil kursi untuk memanjat agar bisa meraih koper yang dimaksud Yu Lastri.

Yono segera menarik turun koper itu, tapi hampir terjatuh dari kursi karena terkejut melihat si koper ternyata sudah jebol kuncinya. Ia terbengong, perlahan dibukanya koper yang sudah tidak terkunci itu. Dan di dalamnya sudah tidak berisi uang, hanya beberapa lembar kertas. Agak lama Yono menatapi kekosongan koper tanpa uang itu hingga didengarnya suara Yu Lastri berteriak, “Agak cepetan Yoooon…!”

“iyaaa…. Ya… Yu… bentar,” sahut Yono gugup.

Ini pasti perbuatan Cak Gino, lelaki yang suka main perempuan dan judi itu. Batin Yono.

Yono segera memutar otaknya, bagaimanapun Yu Lastri tidak boleh tahu jika uangnya sudah hilang. Begitu Pikir Yono. Lalu bagaimana dengan biaya rumah sakit nanti. Yono diam-diam lari ke kamarnya. Ia buka kemasan tas punggungnya yang siap dibawa pulang kampung. Isinya hanya dua stel pakaian dan beberapa helai pakaian dalam. Ia segera membuka tempat ia menyimpan uangnya. Dihitungnya uang simpanannya yang sudah dikumpulkan selama hampir 1,5 tahun itu. Tidak banyak memang. Ya,… hanya 750 ribu rupiah.

Bagi Yono, bekerja jual bakso di pelosok Pulau Dewata itu adalah mimpi buruk. Selama ini ia seringkali menutup kekurangan belanja modal, karena keuangan seringkali lenyap oleh ulah sang majikan lelakinya sendiri. Setelah sekitar 8 bulan, Yono baru menyadari dan memahami perilaku Cak Gino. Ia pun seperti diajari untuk berbuat curang. Kecurangan yang dilakukannya bukan semata-mata untuk keperluannya tapi demi menyelamatkan kelancaran usaha itu sendiri. Bukan itu saja, Yono juga seringkali membohongi Yu Lastri dari kebusukan suaminya walaupun sang istri itu sebenarnya tahu. Karena itulah uang simpanan Yono justru tidak sebanyak 2 temannya yang lain.

Yono menyadari bahwa kepergiannya ke Pulau Dewata itu diluar restu orang tua. Mulanya ia menyesal. Namun kemudian, ia hanya ingin membuktikan bahwa kepergiannya tidak sia-sia. Ia mulai bekerja keras walaupun apa yang dialaminya ternyata diluar apa yang pernah dibayangkan sewaktu Cak Gino merayunya untuk ikut. Muluk-muluk, kata Cak Gino jika ia rajin bisa menabung paling sedikit 300 ribu perbulan. Dan yang terjadi tidak demikian.

Akhirnya Yono menabung jika ada sisa dengan tujuan mengumpulkan uang saku sebagai ongkos pulang dan paling tidak bisa membelikan sedikit oleh-oleh buat adik-adiknya yang masih kecil. Tapi tabungan itu kadangkala bocor karena harus dipakai sebagai pemutar roda ekonomi usaha yang bukan miliknya itu. Dan sekarang,…? Ia pasti gagal pulang kampung. Pikirnya. Biarlah, pulang atau tidak itu terserah nanti, yang penting saat ini ia harus membawa Yu Lastri ke rumah sakit. Menyelamatkan satu kehidupan anak manusia yang ada dalam kandungan wanita malang itu.

Yono segera bergegas keluar. “Uangnya hanya 750 ribu, Yu…!” ujarnya sembari menenteng tas dan menuntun Yu Lastri berjalan ke luar rumah.

“Ya,.. ya… aku juga lupa berapa pastinya,… biar… semoga cukup.” Kalimat Yu Lastri lemah.

“Maaf, ya Yon… kamu jadi ga bisa pulang hari ini,….!” Yu Lastri melanjutkan kalimatnya setelah berada di tepi jalan menunggu angkutan umum.

“Ga pa pa kok, Yu…!” Yono menyahutinya pelan.

“Nanti setelah anak ini lahir, tolong kabari Yu Sri,…. Suruh dia bantuin masak di rumah. Yoga dibawa pulang aja sekalian.”

Yoga itu anak pertama Yu Lastri, dibawa Yu Sri ke Singaraja sejak hari pertama liburan sekolah. Maklum kakak Yu Lastri itu tidak punya anak. Mereka memang keluarga penjual bakso turun temurun. Sudah bertahun-tahun tinggal di Pulau Bali, jarang sekali pulang ke Jawa. Mungkin bagi mereka Pulau itu merupakan penghidupan.

Akhirnya anak ke dua Yu Lastri lahir pada malam harinya. Bayi perempuan yang lucu. Sehat. Yono merasa sangat terhibur. Ia sempat melupakan apa yang telah terjadi. Keesokanharinya, Yono coba menghubungi Yu Sri seperti permintaan Yu Lastri.

Sore harinya mereka sudah pulang dari rumah sakit. Dan Yu Sri sudah berada di rumah. Yono terpaksa harus ikut kerja lagi. Kalau tidak, ia pasti tidak pulang. Biar dapat uang sedikit cukup buat ongkos sampai rumah. Begitu pikirnya. Hingga sampai di akhir tahun, selama 5 hari ia hanya kerja 3 hari dan bisa mengumpulkan uang seratus ribu saja. Tiap malam ia memohon pada Tuhan, “Tuhan antarkan aku pulang!” Dan tentang uangnya yang dipakai sebagai ganti uang Yu Lastri tidak pernah diketahui siapapun.

“Mas,..mas.. mas mau pulang ke Jawa ya…?” Sebuah suara membuyarkan lamunan Yono.

Belum sempat menjawab, lelaki yang ternyata seorang kondektur bis angkutan umum itu berkata lagi, ”ayo ikut aku,… nanti sampai Banyuwangi jam 9 malam.”

Yono menggeleng pelan. Ia sadar kalau uangnya tidak cukup.

“Lho,…kenapa?” Si kondektur keheranan.

“Kalau nunggu bis belakangnya lagi masih lama… nanti sampeyan kemalaman.”

Yono bengong.

“Itu bisnya, sudah mau berangkat.” Sang Kondektur menarik tangan Yono.

Yono berdiri malas. Ditariknya tangan yang digemgam sang kondektur. Ia menolak ajakan itu. Si kondektur menoleh ke arahnya. Tapi kemudian berlari meninggalkannya. Bis yang dimaksud sudah perlahan-lahan meninggalkan tempat parkir. Yono hanya memandang ke arah bis itu. Bis itu pun melewatinya saat ke luar dari area terminal. Yono masih memandanginya.

Setelah beberapa meter berada di jalan raya luar teminal, bis itu berhenti untuk menaikkan beberapa penumpang. Yono kembali terduduk. Tiba-tiba pundaknya dipegang oleh seseorang dari belakangnya. Ternyata si kondektur yang tadi. Lelaki itu berbisik di telinga Yono.

“Mas uang, sampeyan ndak cukup ya?” Tanya sang kondektur.

Yono serasa ditempeleng. Ia terpangah. Kok bisa ngerti Pak Kondektur ini? Yono masih diam.

“Sudah… ayo ikut… aku ngerti kok. Sampeyan aku perhatikan dari sejak duduk di sini….” Sang kondektur kini sedikit memaksa dan menarik tangan Yono untuk ikut.

“Sampeyan mau pulang ke mana....?” tanya kondektur lagi. Sambil menggelandang tangan Yono. Kini Yono terpaksa ikut.

“Jember…” Akhirnya Yono pun mengeluarkan kalimatnya, walau singkat.

Sambil berjalan menyeberang jalan, agak berlari si kondektur sedikit berteriak, “kita satu kampung…” katanya seraya menyeringai ramah.

“Sudah ayo pulang. Ikut saja. Jangan dipikir ongkosnya…” lanjut sang kondektur.

Merekapun berlari-lari kecil dan masuk ke dalam bis melalui pintu belakang. Dan sang kondektur mempersilahkan Yono duduk di kursi paling belakang sebelah kanan.

Saat itu hari sudah mendekati senja. Entah sudah berapa lama Yono melamun di terminal. Suasana di luar bis mulai gelap. Temaram sang senja memerah di tepi cakrawala. Bis yang ditumpanginya melaju dengan kecepatan sedang. Penumpangnya lumayan penuh. Sang kondektur melakukan tugasnya. Dan benar. Ia sama sekali tidak dimintai ongkos. Sesekali Sang kondektur melihat ke arahnya sambil tersenyum. Remaja 20 tahun itu membalasnya dengan senyum penuh terima kasih. Dalam hati ia berkata,”Terima kasih, Tuhan!”

Kepenatan fisik dan fikiran Yono telah membuatnya terlelap. Tanpa terasa ia tertidur dan ia tidak tahu sudah berapa lama. Hingga suara jeritan dan teriakan di luar Bis membangunkannya. Hiruk pikuk dalam gelap yang kadang terlintas kilat-kilat cahaya. Posisi duduknya miring ke kiri searah dengan miringnya bis yang ia tumpangi. Sejauh itu ia belum menyadari jika kapal feri yang membawanya bersama penumpang lain mulai tenggelam dihantam ombak dan arus yang sangat deras. Ia merasa hanya seorang diri dalam bis. Tapi jeritan dan teriakan terdengar sangat keras. Ia yang tadinya duduk di tepi kanan, kini ia sangat dekat dengan pintu keluar. Setelah menyadari apa yang terjadi ia segera melompat ke luar bis. Tapi tiba-tiba air besar datang dari arah belakang. Ia berada dalam gemuruh dan kegelapan, berteriak saja sepertinya sudah tidak sempat. Dan sebuah cahaya terang hampir berwarna sangat putih menyambar dan membawanya entah kemana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline