Hari ini tepat hari ke seratus Hartono menjabat presiden. Program seratus hari telah dievaluasi tim khusus siang tadi. Hasilnya belum menggembirakan. Kesulitan rakyat masih membebani fikirannya hingga ia tidak bisa memejamkan mata. Padahal seharian ini sangat melelahkan.
Hartono gelisah di atas pembaringan. Matanya lurus memandang ke plafon. Temaram cahaya ruang tidurnya yang luas itu tidak juga bisa membuatnya segera terlelap. Yang ada di fikirannya adalah rakyat dan hanya rakyat. Kalau saja ia bisa menghibur diri bahwa seratus hari belumlah cukup untuk melakukan perubahan, mungkin ia sudah berada di dalam mimpi.
Sudah menjadi visi Hartono jauh sebelum ia duduk sebagai orang nomor satu di negeri ini yaitu membawa bangsanya lepas dari kemiskinan. Banyak misi dan program telah disiapkan jauh-jauh hari sebelum ia mencalonkan diri. Ia bisa menyusunnya karena ia sangat akrab dengan kalangan menengah ke bawah. Ia sangat familiar dengan kekurangan sesamanya. Iacukup mengenal birokrasi yang melayani rakyat. Yang menurutnya sangat tidak pro rakyat. Para pejabat sibuk mengumpulkan harta kekayaannya. Para pekerja pemerintah tidak kalah semangat dalam berlomba-lomba mencari keuntungan di luar gaji pokoknya. Al hasil tugas inti yang harus dilakukan justru terbengkalai. Urusan melayani rakyat jadi tidak fokus, segala pelayanan yang dilakukan membutuhkan tambahan biaya dari rakyat.
Dulu…
Hartono, seorang pemuda energik. Otaknya dipenuhi dengan ide-ide gila untuk membahagiakan sesama. Sebagai seorang pemimpin dan relawan sebuah LSM yang didirikan di desanya, ia berhasil merebut dan meluruskan bentuk-bentuk korupsi dan ketidakberesan birokrasi, bahkan meluas hingga wilayah kecamatan setempat.
LSM FBI yang didirikannya bersama rekan-rekan senasib ketika baru berdiri sempat diabaikan oleh lembaga-lembaga pemerintah. Karena dianggap sama saja dengan LSM lain yang kebanyakan sering meminta minta dana dimana rakyat sebagai topeng penutup kebutuhannya sendiri, bahkan ada yang melakukan pemerasan terhadap oknum.
Dalam menggalang dana LSM FBI dibawah pimpinan Hartono murni dari para pengurus dan anggota. Ia menggunakan azas dan cara-cara koperasi dalam menghasilkan keuangan. Adalah seorang teman Hartono merupakan anak seorang pengusaha, Mulyana. Mereka sepasang sahabat yang akrab sejak sekolah dasar hingga masuk perguruan tinggi. Tapi mereka sama-sama keluar dari perkuliahan, dengan alasan serupa tapi tak sama. Jika Hartono melepaskan bangku kuliah karena tidak tahan dengan pungutan-pungutan liar institusi tempatnya kuliah, karena memang ia adalah anak seorang penjual sayur keliling dengan penghasilan terbatas. Sementara Mulyana hanya merasa bahwa pungutan-pungutan liar itu sama sekali tidak akan membuatnya bisa menjadi manusia yang sebenarnya. Walaupun baginya uang bukan masalah tapi ia tidak mau begitu saja memberikan apapun yang dirasanya diluar apa yang harus. Kedua pemuda itu sama-sama membenci ketidakadilan, kemunafikan dan keserakahan para penguasa yang berada di sekitar mereka.
Ternyata yang mereka rasakan juga dirasa oleh lebih banyak pemuda-pemuda seusianya yang berada di kolong negeri ini. Mereka mengetahuinya setelah iseng-iseng membuat sebuah grup dalam jejaring sosial Facebook. Hanya dalam waktu satu bulan grup di jejaring sosial terkemuka itu telah mengumpulkan lebih dari lima ribu orang para pemerhati dan pendukung.
Hartono Mulyana segera melakukan take action dengan mengumpulkan para pemuda yang sepaham dari lingkup desanya terlebih dulu. Maka berdirilah LSM FBI. Mereka terdiri dari lima puluh orang. Ada beberapa masih kuliah. Dan beberapa adalah protolan sekolah menengah yang sudah bekerja serabutan karena tidak sanggup kuliah oleh alasan biaya.
LSM FBI pun mulai bekerja. Meminta dukungan dari beberapa pejabat desa dan aparat pemerintah. Mulanya mereka diabaikan. Tapi itu tidak mengendurkan semangat para pemuda ini. Sebuah usaha kecil dalam bentuk jual beli beras murah dilakukan mereka. Modal didapat dengan mengumpulkan dana dari para anggota. Mereka membeli sebuah mesin selep padi. Kekurangan modal ditutup oleh Mulyana yang dengan rela menjual mobil hadiah dari orang tuanya.
Dengan kompak mereka keliling ke pelosok desa untuk langsung membeli padi para petani. Harga yang diberikanpun tidak merugikan petani. Setelah menjadi beras, mereka langsung mendistribusikannya melalui toko-toko kecil dengan harga sangat murah. Keuntungan memang minim. Tapi sudah menjadi slogan bagi mereka, bahwa keuntungan kecil yang dikumpulkan dari banyak secara kumulatif akan menjadi besar juga.
Kegiatan para pemuda ini bukan hal yang mulus. Banyak orang-orang yang merasa dirugikan. Bahkan oknum sebuah lembaga pemerintah yang berurusan langsung dengan komoditi beras sempat hampir membawa mereka ke jalur hukum, karena kegiatan mereka diluar prosedur produksi dan distribusi beras dari petani yang katanya sudah digariskan dalam kebijakan pemerintah.
Tapi kemudian semua masyarakat petani mendukungnya. Bahkan para pemilik-pemilik toko kecil yang ada di desa itu. Menurut para petani, untuk apa mengikuti prosedur pemerintah jika masyarakat masih dirugikan dengan menjual hasil panennya pada para tengkulak bernama PT ini PT itu dengan harga minimal kemudian membeli beras masih dengan harga yang cukup mahal.
Kinerja LSM FBI semakin berkembang. Sistem kerja pun telah berhasil diciptakan hingga membuahkan hasil kerja yang mengesankan. Banyak pengangguran terbebas. Mereka banyak membuat kesempatan kerja bagi pemuda-pemudi di desa itu. Bahkan mereka berhasil menggaet beberapa preman jalanan sebagai petugas keamanan. Dikirimnya para preman itu ke lembaga DIKLAT Satuan Pengamanan untuk menambah pengetahuan dan ketrampilan dalam melakukan tugasnya. Hanya dalam waktu satu tahun LSM FBI meluas ke satu wilayah kabupaten. Yang pada akhirnya LSM ini bahkan menjadi jembatan antara masyarakat petani dan intitusi pemerintah yang mengurusi hasil penen dan mengawasi pendistribusiannya. Mereka memastikan bahwa tidak ada korupsi dan kolusi dari pihak manapun yang bekerja untuk bidang pertanian padi ini. Maka kesuksesan ini membuat FBI disegani dan didukung oleh berbagai kalangan masyarakat.
Aksi damai FBI ini membuat para pegawai-pegawai idealis yang tadinya takut menampakkan diri diantara rekan-rekannya yang korup menjadi sangat berani menentang jika dalam lembaga tempatnya bekerja terdapat kecurangan. Sedikit demi sedikit lembaga-lembaga birokrasi mulai bersih dari berbagai macam kecurangan. Banyak pengusaha-pengusaha jujur dirangkulnya. Tidak sedikit pegawai-pegawai pemerintah yang lurus menjadi pendukung aktif bahkan turut serta membenahi intitusinya. Saat itu dana bukan lagi masalah. Desa-desa di wilayah kabupaten itu berkembang dengan pesat. Banyak kepala desa yang tidak pro dicopot oleh rakyatnya. Pemilihan kepala desa tidak lagi main money politik. Seluruh kepala desa yang terpilih justru berasal dari kalangan ekonomi yang biasa-biasa dan berkecupan. Yang tidak perlu lagi mengeluarkan banyak uang untuk dapat dipilih. Bahkan rakyat sendiri mengumpulkan dana untuk mencalonkan kepala desanya.
Idealisme Hartono Mulyana bukan lagi mimpi, apa yang mereka inginkan telah menjadi kenyataan. Dan diakuinya bahwa keadaaan yang difikirkan dua pemuda itu bukan saja milik mereka, tapi milik sebagian besar rakyat. Hanya saja mereka tidak berani melakukan tindakan-tindakan.
Kegiatan FBI dalam waktu kurang dari delapan tahun sudah meluas ke seluruh negeri. Walau banyak penentang, tapi masih jauh lebih banyak pendukung. Maka langkah-langkah selanjutnya bukan lagi masalah. Pendukung FBI merasuk ke bagian-bagian dari pemerintah bahkan merasuk ke ranah politik.
Hartono Mulyana sudah keliling seluruh negeri untuk menyusun sistem sistem baru dan menumbuhkan kinerja-kinerja yang pro rakyat. Tidak mustahil. Pada saat pemilihan Presiden jutaaan rakyat mendukung Hartono Mulyana untuk duduk menjadi orang nomor satu di negeri ini. Mereka berhasil mengalahkan kandidat-kandidat lain yang disodorkan partai politik. Sederhana saja, rakyat sudah lelah dengan janji janji partai, rakyat sudah muak dengan politik uang. Rakyat sudah lelah dengan birokrasi penuh intrik. Dan Hartono Mulyana pun akhirnya menjadi pemimpin negara termuda di dunia.
Kini Sang Presiden, Hartono tengah tenggelam dalam gelisah. Kursi kepresidenan membuatnya tidak nyaman berkomunikasi dengan sesama rakyat seperti dulu. Banyak prosedur dan sistem yang harus diikuti bahkan hanya untuk bertemu kedua orang tuanya.
Sementara itu program seratus hari kepemimpinanya yaitu membenahi sistem birokrasi dari atas ke bawah belum membuahkan hasil yang signifikan. Tidak semudah ketika ia membagun FBI. Banyak intrik politik menghalangi langkah-langkahnya. Haruskah ia menggunakan cara-cara kekerasan? Untuk membasmi jaringan-jaringan sistemnya yang korup agar programnya berjalan lancar? Ya Mungkin!
Sang Presiden pun bangkit dari pembaringan. Ia mengambil handphone dan pergi ke ruangan lain sebab ia tidak ingin mengganggu ketentraman sang istri yang sedang terlelap dalam mimpi.
Sang Presiden memencet mencet keypad HP-nya untuk menghubungi Mulyana,
“Ada apa Ton?“ terdengar suara dari speaker.
“Kita lari pagi besok, seperti biasa. Jam lima.” Singkat saja suara Hartono berbicara, bahkan tanpa salam formal.
”Okeeee,….bos ! ” Mulyana pun masih seperti dulu. Berkomunikasi layaknya seorang sahabat. Dan ia tahu, jika Hartono mengajaknya lari pagi, artinya ada hal sangat rahasia yang harus dibicarakan berdua, tanpa didengar siapapun.
Keesokkan harinya, persis jam lima pagi sepasang pemimpin negara itu berlari-lari pagi di lapangan olahraga, yang terletak di bagian belakang lingkungan istana tempat tinggal presiden. Rencana Sang Presiden pun disampaikan pada wakilnya.
”Lakukan apa yang harus, demi rakyat. ” hanya itu jawaban sang wakil.
Hari-hari berikutnya, dalam kepemimpinan Sang Presiden ini, banyak tim khusus telah dibentuk. Langsung dibawah komando Presiden. Di luar departemen yang ada di pemerintahan. Bahkan sangat rahasia. Anggota langsung diambil dari orang-orang pilihan. Baik dari kalangan bawah, menengah maupun atas. Diambil dari seluruh negeri. Dipilih dari orang-orang yang telah lama dikenalnya, bukan orang-orang baru yang berada disekitarnya ketika ia jadi presiden.
Bulan-bulan selanjutnya media banyak memberitakan hal-hal yang mengenaskan terjadi pada para pejabat, pegawai, pengurus partai politik, aktivis-aktivis dan para pekerja-pekerja departemen. Hampir semua mereka mati mendadak karena serangan jantung. Mereka ini adalah para koruptor dan pembangkang pemerintah. Tapi anggota keluarga yang ditinggalkan diberikan kehidupan yang layak.
Sang Presiden telah bertindak. Apapun itu, semua demi rakyatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H