Lihat ke Halaman Asli

Belajar Cinta #LearningtoLove

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1366594831511697674

Tidak banyak orang yang belum mencinta pasangannya ketika menikah. Apalagi di zaman modern ini. Kebanyakan mereka sudah berhubungan beberapa lama dan cinta -lah yang memotivasi keduanya untuk melanjutkan ke jenjang rumah tangga. Maka aku termasuk orang yang sedikit itu. Orang modern namun terlibat dalam romantisme zaman dahulu. Istriku yang sekarang adalah orang yang baru ku kenal ketika aku memutuskan untuk melamarnya langsung kepada ayahnya. Tentu ini bukan jatuh cinta pada pandangan pertama judulnya, bukan pula terkena pelet dari si dara. Ini cuma masalah metode. Dan aku memilih metode ini. Aku cari, aku selidiki, aku datangi, aku pagari. vini vidi vici. Merdeka!!!! Penuh semangat 45. he he … Bahkan calon mertua terkejut dua2-nya, ketika aku yang baru mereka kenal berterus terang untuk meminang. Sungguh sesuatu yang langka untuk zaman sekarang. Namun… hati memang urusan Allah. Sebagaimana Allah menanamkan kecenderungan pada hatiku untuk kemudian memilih, begitu pula Allah menanamkan kecenderungan pada si dara dan orang tua-nya untuk menerima. Banyak yang komplain memang, tidak sedikit pula yang mempertanyakan. “Baru kenal kok sudah lamar, ih.. nakal.” Atau “Baru tau kok sudah mau, ih.. lucu” Dan sebagainya dan sebagainya. Sebagian bertanya tentang siapa aku. Tetapi kebanyakan meragukan kecocokan karena tak ada cinta yang jadi landasan. What about me? Am i sure with my choice? Am i sure i can love her? Begitulah, bahkan aku tak tau berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk mendatangkan cinta di hati yang dalam. Yang kupikirkan hanyalah komitmen. Ya... komitmen, karena buku telah kuteken maka aku harus konsisten. Karena aku telah memilih maka aku harus melatih. Melatih untuk mencinta, melatih untuk dicinta. Dan semua turunannya. Belajar untuk menerima, mendengar, berbagi, peduli, berkorban, merindu, mengharap, bertengkar, berdamai, bertengkar lagi (he he..). Dan variabel-variabel lain yang dibutuhkan agar konstanta cinta-pun menjadi datang. Dan… hati memang urusan Allah. Maka aku-pun menjadi lelaki yang mulai mencintai perempuan yang kuperistri. Seperti menyaksikan bibit yang ditanam, “ternyata ia tumbuh”. Kecenderungan yang kuat. Seolah2 terlihat di depan mata. Semakin jelas dan semakin nyata. Kucintai ia... atas kecantikannya, kebaikannya, pengabdiannya, dan karena cintanya. Lalu aku kemudian tersadar, bahwa di sinilah awal masalah berakar. Yang dialami oleh setiap pasangan yang berikrar, bahwa mempertahankan cinta adalah jauh lebih sukar. Hati manusia bolak balik, perasaan turun naik, tumbuh dan layu. Di alami oleh semua pasangan, baik yang mengawali rumah tangga dengan cinta mendalam atau cinta yang baru diniatkan. Maka hati memang benar2 urusan Allah. Sebagaimana Allah mendatangkan cinta Allah pula yang kuasa menjaga dan mencabutnya. Karena itulah, maka aku-pun harus berurusan dengan-Nya (he he). Aku melihat, memahami dan menyadari bahwa aku harus melatih mencinta, melatih semakin mencinta dan melatih tetap mencinta. Dan ini benar2... memerlukan energi yang besar, karena aku harus mencinta hingga akhir usia. Maka aku memohon kepada Allah, pemilik urusan hati, agar aku tetap mencintai... Hingga Dia memutuskan urusan-Nya atas kami..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline