Matamu sungguh sempurna, Laila. Mata yang memancarkan pesona surgawi, melengkung dalam nirwana cinta. Cahaya matamu melebur segala ilusi, melunturkan seluruh emosi, meluruhkan semua dengki. Tatapanmu mengingatkanku pada hari hari yang telah berlalu, saat mencumbui kekasih hati. Sungguh aku rindu, beradu pandang denganmu, ingin kuselami jiwamu (lagi), yang aku yakin, tak akan kutemukan dasarnya meski telah berpuluh tahun aku cemplungkan diri di kedalaman tak terhingga, sampai napasku berhenti, sampai tubuh ini pecah oleh tekanan samudra jiwamu. Salahkan aku menginginkan itu, Laila? Tatapan matamu tidak seperti busur panah, tapi bagai kilat yang melesat dengan kecepatan cahaya. Seketika menembus ruang dan waktu, juga menembus jiwaku yang hampa. Berlayar aku ke berbagai pulau, mengejar lesat tatapanmu, Laila. Terbang aku ke berbagai negeri, menelusuri lesat tatapanmu itu. Terkadang, aku bisa merasakan bekas bekas tatapmu di satu dua pulau, terekam pada garis garis usia kayu, juga pada kicau kicau burung. Sungguh indah, kicau kicau mereka telah dirasuki kilasan tatapmu, terlihat dari warna aura tubuh mereka saat bernyanyi menjelang senja, juga di kepak sayap mereka tatkala ingin bercinta. Aku masih terus saja mengejar tatapan itu, Laila. Namun, hingga kini hanya kutemukan jejak tatap yang kau tinggalkan di satu dua pulau saja. Bener Meriah, 5 Februari 2010 Sumber gambar: www.tourinord.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H