Lihat ke Halaman Asli

Auramu, Laila

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Penat segala sendi aku menyusuri kota ini. Memandang dedaun, menatap lautan, tembok-tembok gedung kota, meunasah-meunasah yang dimanja, juga pendapa penguasa kota. Di setiap sudut tampak berkas berkas auramu, Laila. Dalam angin yang berputar mengelus pipiku, aku mencium lagi aromamu, hangat seperti sinar senja. Di antara daun kuning coklatan, gugur satu persatu, lagi-lagi terlukis namamu. Semakin semangat aku mencarimu, Laila, semakin pula tubuh ini mengikat asa.

Aku mulai melihat jejak langkahmu, samar-samar terpatri di pori-pori jalan, mengarah ke lautan juga ke angkasa, dalam udara dalam awan purna. Beri aku sedikit saja isyarat, lalu akan terus kuikuti engkau. Rasi biduk dan pari menjadi jari telunjukku merasai arah. Selatan utara diapit dalam makna, cintailah aku Laila. Beri aku segenggam harap. Aku mencintaimu seperti matahari menyinari bumi, seperti daun yang menjadi hara untuk daun lainnya. Aku ada untuk tiada. Aku ada untuk mereka. aku ada, hanya untukmu, Laila.

Aku menjadi pengelana cinta, setelah sepuluh tahun kautinggalkan aku. Mengharu nibiru sedihku, kau melaju dalam keremangan harapan yang telah memuncak dalam kalbuku, di liku jiwaku mencari cinta kasihmu. Aku ingin kau kembali, kembalilah padaku. Lirih, pedih, ingin aku mencucur segala zat cair tubuhku. Untuk menumpah segala doa dalam setiap pijakan langkah. Aku mencintaimu melebihi segala rupa di durjana alam yang kian condong ke barat loka.

Di simpang empat kota ini aku berdiam, memandang penjuru langkah pria wanita, tua muda: semua mereka menyusup dalam auramu tanpa mereka sadari. Caci maki penarik becak yang dekil, harlan labi labi (angkutan kota) yang menarik narik lengan penumpang, debu debu beterbangan, mentari senja menimpuk sisi kepala. Aku, sang pencari cinta tampak aneh di sorot mata mereka. Tak mengapa, demi engkau, Laila.

Bireuen, 31 Januari 2010




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline