Biografi Muhammad Natsir
Mohammad Natsir dilahirkan pada 17 Juli 1908 di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Kedua orangtuanya bernama Idris Sutan Saripado dan Khadijah. Pekerjaan ayahnya yaitu seorang juru kontrolir, beliau ini selalu mendorong Natsir untuk mendalami agama Islam. Dalam adat Minangkabau di masa itu, seorang anak laki-laki berusia 7-8 tahun, pada malam hari harus tidur di surau bersama teman-teman sebayanya. Rumah ayahandanya ini dekat dengan masjid sehingga sejak usia dini Natsir sudah menjadikan mengaji sebagai makanan sehari-hari. Dari dorongan ayahnya ini melahirkan dampak positif kepada Natsir pada saat kecil untuk mengikuti pelajaran di pendidikan formal, Natsir sangat bersemangat untuk mengikuti pendidikan di sekolah dasar Hollandsche Inlandsche Schoolen (HIS) Sekolah tersebut didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1914 untuk memberikan pendidikan dasar yang lebih maju bagi orang Cina dan kaum Bumiputera. Akan tetapi penghasilan ayahnya tidak cukup untuk membiayai Natsir bersekolah di HIS. Pada akhirnya Natsirnya sempat "menumpang" belajar di Sekolah II (Sekolah Rakyat yang bahasanya pengantarnya bahasa Melayu, bukan bahasa Belanda). Beberapa lamanya beliau menumpang belajar tanpa harus membayar uang sekolah, juga tanpa terdaftar sebagai murid, selama menumpang disana beliau seperti bermain kucing-kucingan dengan Inspektur Sekolah itu.
Setelah beberapa bulan bersekolah secara kucing-kucingan, akhirnya Natsir di ajak oleh Kakaknya, Rabiah untuk pindah ke Padang. Dengan Sukacita Natsir mengikuti kakaknya karena dia tahu di Padang ada HIS. Natsir mendaftarkan diri ke HIS dan hasilnya ditolak, sebab HIS di Padang hanya menerima anak pegawai negerti yang bergaji besar ataupun anak dari Saudagar Kaya. Ambisi Mohammad Natsir bisa di katakan dari hal tersebut sebab beliau menjadi bertanya-tanya mengenai " Apakah yang boleh maju dan pintar hanya anak-anak orang kaya?".
Sebuah kesempatan emas yang bisa diambil oleh seorang Mohammad Natsir yang akhirnya bisa bersekolah di HIS Adabiyah. Walaupun HIS Adabiyah ini sebuah sekolah swasta yang waktu belajarnya sore hari, dan sekolah ini didirikan oleh para pemimpin pergerakan yang bertujuan ingin mencerdaskan kehidupan bangsa terjajah dengan mendirikan sekolah-sekolah partikelir. Hanya beberapa bulan Natsir bersekolah di HIS Adabiyah, dia dipindahkan oleh ayahnya ke HIS pemerintah di Solok yang baru dibuka. Di sana, Natsir tinggal bersama keluarga Haji Musa, seorang saudagar yang dermawan. Ketika di Solok itulah, dasar agama Natsir dibentuk dan dibina. Pagi hari dia belajar di HIS, sorenya ia lalu belajar di Madrasah Diniyah, kemudian belajar mengaji Al-Quran dan ilmu agama Islam lainnya pada malam hari. Tiga tahun lamanya Natsir tinggal di padang, menyelesaikan pendidikan di HIS dari kelas V hingga kelas VII.
Setelah tamat dari HIS pada 1923, Natsir melanjutkan pendidikannya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Padang (setingkat dengan SLTP/SMP sekarang). Ketika di MULO itu, beliau mempunyai kesukaan bermain biola serta menjadi anggota pandu (Nationale Indoneisische Padvinderij), dan Jong Islamieten Bond (JIB) sebuah organisasi Pemuda Islam yang didirikan di Batavia pada 1 Januari 1925. Perkumpulan seperti JIB dan Jong Sumatera bertambah luas dan telah berperan besar di dalam mengkader generasi muda yang pada masanya kelak tampil menjadi pemimpin bangsa Indonesia. Dari Jong Sumatera lahir tokoh-tokoh seperti Bahder Djohan dan Mohammad Yamin. Dari JIB lahir tokoh-tokoh seperti Sjamsuridjal (Walikota Jakarta tahun 1950-an), Kasman Singodimedjo, Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito dan Natsir sendiri. Di JIB, Natsir berkenalan dengan Noer Nahar, seorang pemudi yang kemudian menjadi istrinya, sewaktu gadis itu menjadi anggota JIB bagian Putri.
Setamat dari MULO, Natsir melanjutkan sekolahnya ke Algemeene Middle School (AMS) di Bandung. Untuk itu, dia harus berlayar jauh mengarungi lautan meninggalkan tanah kelahirannya. Pada Juli 1927, sewaktu dia berusia 19 tahun mulailah Natsir belajar di AMS. Sembari bersekolah di AMS, Natsir juga aktif menjadi anggota JIB Cabang Bandung, bahkan terpilih menjadi ketuanya sejak 1928-1932. Di JIB itu pula, Natsir bertemu dengan beberapa tokoh gerakan politik, seperti Haji Agus Salim, H.O.S Tjokroaminoto dan Syaikh Ahmad Syurkati yang sering memberikan pengajaran dan menjadi tempat bertanya para anggota JIB. Di samping itu, Natsir juga berkenalan dan banyak belajar dari Ahmad Hassan, seorang ulama dan tokoh utama Organisasi Persatuan Islam (Persis). Keempat orang terakhir itulah yang banyak memengaruhi alam pikiran intelektual dan keagamaan Natsir.
Setelah tamat dari AMS pada 1930, Natsir sebenarnya mempunyai kesempatan untuk meneruskan pendidikannya Ke Rechts Hogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta atau ke Handels Hogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, namun beliau memilih menjadi guru agama dan Jurnalis di samping meneruskan kajian keagamaannya dengan Ahmad Hassan. Pada tahun 1930, Natsir merintis sebuah sekolah di Bandung dan dinamainya "Pendidikan Islam" (Pendis). Sekolah itu benar-benar dimulai dari nol. Natsir memulai kegiatan pendidikannya dengan lima orang murid di sebuah ruangan yang di sewanya di simpang jalan Pangeran Sumedang, Bandung. Ruangan yang bertetangga dengan tempat praktik tukang cukur itu sangat sederhana.
Keberhasilan Natsir dengan "Pendidikan Islam" itu tidak terlepas dari bantuan teman-temannya yang membantu mengajar dengan tulus ikhlas. Mereka itu diantara lain Ir. Ibrahim, Ir. Indracahya dan Fachruddin Al-Kahiri. Ada pula seorang kaya yang dermawan dan budiman bernama Haji Muhammad Yunus yang banyak memberikan "jalan" dan bantuan keuangan bagi kelangsungan hidup Sekolah Pendis. Ada seorang lagi yang perlu disebutkan dalam pembinaaan pendia itu. Dia adalah seorang gadis bernama Noer Nahar yang saat itu sudah mengajar di sekolah "Arjuna" yang disubsidi oleh pemerintah. Sebagai Jurnalis, dia bekerja sama dengan Hassan menerbitkan kepada Natsir untuk mngeluarkan pendapatnga tentang Islam dan Pembaharuan. Natsir juga mengirimkan karangan-karanganmya ke Pandji Islam dan Pedoman Masyarakat, dua majalah mingguan Islam terkemuka saat itu yang terbit di Medan. Di sini, Natsir memakai nama samaran A. Muchlis.
Natsir mulai berkecimpung dalam bidang politik sejak dia diminta oleh Sabirin, Ketua PSI cabang Bandung, untuk menjadi anggota partai Sarekat Islam pada 1930. Natsir juga aktif dalam organisasi Majelis Islam A'la Indonesia yang kemudian berganti menjadi Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Natsir pernah menjadi ketua Masyumi, daalam kepemimpinannya, Masyumi mampu menjadi partai Islam terbesar di Indonesia. Setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), Natsir menjadi anggota Parlemen (DPR) RIS. Beliau jugalah yang menjadi ketua Fraksi Masyumi.
Pada tanggal 6 Februari 1993 M, Mohammad Natsir wafat di RS Cipto Mangun Kusumo, Jakarta di usia 85 tahun. Selama hidupnya, Mohammad Natsir banyak menerima penghargaan dan penghormatan baik dari negara lain maupun Pemerintah Indonesia, beliau dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada November 2008. Natsir juga diberi penghargaan Bintang Republik Indonesia Adipradana pada masa B.J. Habibie. Mohammad Natsir adalah seorang yang gigih berjuang untuk agama dan negara Indonesia. Sosoknya yang tekun dan sederhana serta perjalanannya dalam sejarah Indonesia akan selalu menjadi teladan dan dipelajari generasi muda Indonesia.