Lihat ke Halaman Asli

Raymond Lubis

tabib modern

Realita pelaksanaan UN

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salam sejahtera bagi kita semua. Saya merupakan salah satu siswa SMA di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Pada tanggal 27 April kemarin saya dinyatakan lulus Ujian Nasional (UN) dengan total nilai 45.

Saya ingin sedikit bercerita tentang suasana pelaksanaan Ujian Nasional di daerah saya, yaitu Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Saya menceritakan hal ini kepada saudara agar kita semua dapat memahami apa yang sebenarnya terjadi pada Ujian Nasional kemarin.

Pelaksanaan Ujian Nasional kemarin sangat berbeda dengan tahun sebelumnya. Selain standar kelulusan yang naik, ada juga 6 mata pelajaran yang diujikan yaitu Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Kimia, Fisika, dan Biologi. Nah, dalam hal ini saya lebih bercerita tentang proses persiapan UN, pelaksanaan dan hasil.

Proses persiapan di sekolah saya berjalan cukup baik, namun tak sebaik yang anda bayangkan. Kebetulan sekolah saya sedang mengalami masa transisi, dikarenakan kepala sekolah saya akan diganti. Untuk menjadi guru di sekolah saya minimal mempunyai pengalaman mengajar 5-10 tahun di SMA dan lulus S1. Baru-baru ini mulai banyak guru baru yang masuk ke sekolah saya, guru yang baru saja dapat sertifikat (fotokopi sertifikatnya masih panas) mendapat tempat di sekolah saya. Untung saja mereka mengajar kelas X, jadi saya diajar guru-guru senior. Ada juga permasalahan komite yang tak jelas kemana ujungnya, listrik sekolah yang mampet, serta program sekolah yang bersifat membingungkan kelas XII. Memang tidak ada satupun dari masalah tersebut menghambat langung, namun sangat menggangu konsentrasi belajar sebagian besar siswa. Untung saja saya bukan tipe orang yang terlalu memikirkan hal tersebut.

Nah, pelaksanaan UN di sekolah saya berjalan sangat baik. Tidak ada hal yang aneh-aneh seperti :

1) Guru tiba-tiba datang ke kelas-kelas untuk memberikan jawaban

2) SMS misterius berisi kunci jawaban beberapa jam sebelum UN dimulai

3) Guru merubah jawaban siswa yang salah setelah siswa selesai mengerjakan UN

Selama pelaksanaan UN di sekolah , saya salut dengan sekolah saya, karena 100% JUJUR. Walau hasilnya hanya 68% dari sekolah kami yang lulus. Hanya satu siswa yang mendapatkan total nilai lebih dari lima puluh, 10-20 siswa mendapatkan nilai lebih dari empat puluh. Sedangkan sisanya memiliki total nilai tiga puluhan.

Perolehan nilai siswa di sekolah saya cukup ironis. Ada yang dapat nilai 8 tetapi karena ada nilai dibawah 4,00 dinyatakan tidak lulus, jadi teman saya harus mengulang lagi. Paling banyak siswa mengulang mata pelajaran matematika dan fisika. Padahal pada saat malam perpisahan, kami semua yakin tidak akan mengulang UN, seburuk apa pun nilainya, yang penting lulus.

Setelah pengumuman pada tanggal 27 April, saya ingin mengetahui bagaimana tingkat kelulusan di sekolah lain. Ternyata hasilnya beda jauh dengan sekolah saya, ada yang lululus 100% dengan nilai rata-rata siswa diatas delapan, ada juga sekolah yang hanya lulus 2 siswa, lebih ironis daripada sekolah saya.

Saya mulai berpikir, bagaimana sekolah yang menurut saya jauh kualitasnya secara keseluruhan bisa meluluskan 100% siswanya? Bukan saya bermaksud tidak terima atau sombong. Jika SMA saya dibandingkan dengan SMA yang lulus 100% itu, sangat jauh sekali. Apalagi dalam hal prestasi.

Rasa curiga saya semakin kuat dan saya mulai mencari-cari informasi. Saya mempunyai teman di sekolah yang lulus 100% itu. Dia mengaku menerima SMS misterius yang isinya kunci jawaban dan hasilnya tidak sempurna tetapi mendapat 8-9. Setelah mendengar hal tersebut, saya kaget dan sekaligus miris mendengar hal tersebut. Pantas saja sekolah tersebut nilainya bagus semua.

Ada juga kejadian seperti ini, SMA A misalnya bertukar guru dengan SMA B untuk mengawasi siswanya. Guru di SMA A membuat kesepakatan dengan guru di SMA B. Guru SMA B akan membantu siswanya pada saat pelaksanaan ujian dengan memberi jawaban yang benar kepada siswa SMA A saat mengawas, asalkan guru SMA A juga membantu siswa SMA B dengan cara yang sama. Praktik tersebut biasanya dilakukan di daerah-daerah yang minim pengawasan pelaksanaan UN. Dimana tanggung jawab pengawas independen?

Saya terus mencari fakta kenapa hal ini bisa terjadi. Ternyata kebiasaan "main serong" UN ini dimulai sejak tahun 2007. Berbagai praktik penyimpangan UN ini dilakukan untuk meningkatkan nama baik sekolahnya. Sekolah yang mampu meluluskan 100% siswanya akan diberi kontribusi dari Dinas Pendidikan Propinsi maupun pusat. Percaya diri sekolah akan bertambah, apalagi saat penerimaan murid baru. Hal ini akan terus dilakukan, tidak perduli siswa yang diluluskan akan melanjutkan ke perguruan tinggi yang bagaimana. Kualitas siswa yang “lulus-lulusan” tidak terjamin mengakibatkan siswa tersebut gagal masuk perguruan tinggi negeri.

Bayangkan saja hal seperti ini terjadi, ada siswa yang tidak paham matematika. Sekitar 50% materi matematika SMA tidak dipahami. Pada saat UN, siswa tersebut melakukan kecurangan. Pada pengumuman kelulusan, nilai matematikanya sepuluh dan dinyatakan lulus. Apakah anda yakin siswa seperti ini bisa “challange” untuk masuk perguruan tinggi negeri? Boleh saja dia bangga lulus SMA dengan nilai yang baik, tetapi pada akhirnya jadi penggangguran karena tidak lulus-lulus saat ujian masuk perguruan tinggi.

Hal seperti itulah yang patut kita hindari. Belajar selama 3 tahun untuk menguasai materi SMA, setiap hari masuk sekolah dan orang tua yang mensuport kita dalam hal apapun agar kita bisa sekolah dengan baik. Namun, haruskah kita pada saat UN yang menentukan ini, kita berbuat curang? Mengapa tidak usah turun sekolah saja dan sibuk sana-sini untuk “berjuang” belajar, kan pada saat UN juga tidak jujur.

Anehnya di daerah saya, para stakeholders pendidikan di tingkat propinsi dan tingkat kota tidak mau perduli dengan masalah ini. Mereka malah bangga dengan usaha mereka dalam melaksanakan UN di daerah saya. Ketika anggota komisi DPRD memanggil mereka untuk kejelasan hasil UN, selalu saja alasan agar seolah-olah tidak bertanggung jawab.

Demikian tulisan saya ini. Mohon maaf jika ada kata-kata yang menyinggung atau kurang pantas. Semua ini saya tulis demi kebaikan masa depan penndidikan di Indonesia, khusunya di Kalimantan Tengah yang di mata Indonesia saja masih kurang kompeten.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline