Lihat ke Halaman Asli

Dongeng Sebelum Tidur

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku melihat senyumnya seperti tak biasanya. Begitu kecut seperti ada kemuakan yang disimpannya. Matanya pun demikian, terlihat memendam kebencian yang amat luar biasa. Melihat kondisi seperti itu aku tak berani menatap wajahnya secara langsung. Hanya sesekali aku mencuri pandang kewajahnya, itupun dengan perasaan takut yang luar biasa dan aku perlu mengumpulkan energi keberanianku terlebih dahulu. Hampir tiga puluh menit kami saling diam di tempat ini. Amarahnya kepadaku sepertinya sangat besar. Aku tidak berani membuka kata terlebih dahulu.

Kami masih diam, bahkan ketika pelayan café itu memberikan menunya kami cuekin. Pelayan menunggu cukup lama untuk mendapat respon dari kami tetapi mungkin dia melihat situasi yang kurang tepat akhirnya dia meletakkan menunya di atas meja dan pergi. Aku melirik kepergian pelayan itu dan kulihat dia berbisik-bisik dengan temannya yang berada di kasir melihat ke arah kami. Sepertinya mereka membicarakan kami.

Tiga puluh menit lebih kami diam. Akhirnya aku memberanikan diri untuk menggenggam tangannya yang sedari tadi mengepal di atas meja. Aku menggenggam tangannya, dia tanpa respon. Aku menggenggamnya semakin erat cukup lama sampai aku salah tingkah.

Dia adalah kekasihku. Kami berpacaran sudah hampir delapan tahun lebih, dari cinta monyet sampai cinta yang lebih dewasa daripada cinta monyet. Sejak SMA kelas satu kami berpacaran dan kini kami sudah selesaikuliah dan masih sama-sama jadi pengangguran baru di negeri ini.

Pelayan café itu datang lagi untuk mengambil note menu. Dia melihat kalau kami belum menuliskan pesanan apa-apa dan karena pelayan itu menjalankan tugasnya maka dia memberanikan diri untuk bicara dengan kami, walau dia tahu kami seperti sedang bertengkar.

“maaf mbak, mas, mau pesan apa biar saya yang tulis?”

Untung pelayan itu datang pikirku sehingga aku ada alasan untuk bertanya kepada kekasihku. Selain itu juga aku ada kesempatan meregangkan mulutku yang sedari tadi seperti kram, terkunci dan kelu.

“sebentar ya, mbak.“kataku pada pelayan itu.

“mas, mau minum apa?”

Kekasihku tetap tidak mau menjawabku. Dia tetap diam dan memasang wajah seram. Tapi tidak mengapa dia tidak menjawab pertanyaanku. Aku tahu pasti apa yang dia pesan jika kami berduadatang di café ini maupun café-café lainnya. Pertanyaan yang kulontarkan padanya tadi hanya seperti memanfaatkan moment tepat untuk bicara padanya dan menatap wajahnya secara penuh.

“mbak, pesan susu jahe panas ya, dua”

“iya, mbak. Makannya apa?”

“makannya nanti aja mbak”

“ya, baik mbak. Tunggu sebentar ya mbak”

“terima kasih”

Pelayan itu pergi dan kami masih tetap dalam keadaan yang tegang. Aku kembali menggenggam tangan kekasihku namun kali ini aku menggenggam kedua tangannya yang mengepal di atas meja. Kemudian aku beranikan menatap wajahnya. Aku pasang muka setduh-teduhnya dengan harapan suasana bisa berubah membaik.

“mas…, kenapa diam saja. Maafkan aku mas kalau aku ada salah”. Aku mencoba mengiba padanya, dia masih saja tetap diam.

Aku memandangi wajahnyadengan sabar menunggu ada kata-kata yang akan diucapkan. Beberapa saat kemudian akhirnya kesabaranku seperti akan menuai hasilnya. Dia mulai menggerakkan bibirnya berucap padaku.

“dek, sepertinya kita harus menyelesaikan pacaran kita!”

“apa, mas?”

“sepertinya kita harus menyelesaikan pacaran kita!”

Aku seperti mendengar suara mendengar letupan AK 47 yang dibrondongkan secara membabi buta oleh tentara pemberontak di Patani, dengan apa yang dikatakan kekasihku itu. Aku terkejut bukan kepalang. Sebelumnya tidak ada konflik apa-apa diantara kami, mengapa dia berkata seperti itu dengan mudahnya. Rasanya aku ingin segera pergi saja dari tempat itu. Aku tak percaya. Aku hanya bisa menangis.

“dek, terus terang aku sudah bosan berpacaran dengan kamu. Bayangkan saja sebagai seorang laki-laki harus setia begitu lamanya. Berpacaran dengan seorang gadis saja. Itu sungguh menjenuhkan dek”

Kali ini aku yang hanya diam tidak mapu berkata apa-apa. Wajahkupun berganti muram sedangkan wajahnya justru terlihat tenang berbalik 180 derajat dengan wajahnya yang tadi. Aku tidak dapat menahan tangisku. Aku terisak semakin menjadi. Sungguh-sungguh tak percaya dengan apa yang kudengar. Begitu teganya dia bicara seperti itu dan seolah-olah dia sudah benar-benar bosan berpacaran denganku.

“bicaralah dek, kenapa kau diam saja”

Aku mencoba melepaskan tanganku yang dari tadi masih menyatu dengan tangannya dan dengan sigap dia justru yang memegang tanganku kuat-kuat.

“mas, lepaskan tanganku!”

“tidak dek”

“lepaskan mas!” aku berteriak padanya, tak perdulikan orang-orang di café itu.

“aku mau lepaskan asal tanganmu tetap di meja. Jangan kau tarik tanganmu.”

“kenapa aku tidak boleh menarik tanganku?”

“ya, aku ingin tanganmu tetap di meja itu saja, kalau tidak aku tidak akan melepasnya”

“ya”

“kau janji?”

“iya”

Aku terpaksa mengikuti maunya karena sesungguhnyapun aku tidak pernah berani membantah setiap perkataanya. Akhirnya dia melepaskan genggaman tangannya dan akupun tetap meletakkan tanganku di atas meja. Saat itu aku menahan gejolak yang luar biasa, amarah bercampur dengan kesedihan dan semua hal. Tidak percaya selama delapan tahun lebih, banyak hal yang telah kami lewati bersama dengan begitu mudahnya tanpa sebab musabab dia minta mengakhiri pacaran kami. Rasa itu semakin bergejolak, aku semakin tak tahan membendung tangisku. Aku benar-benar ingin pergi dari tempat itu. Lari entah kemana saja. Aku tidak bisa menahan diri. Aku berdiri dan hendak pergi dari café itu, namun saat aku baru saja berdiri hendak pergi tiba-tiba saja lampu di café itu mati dan tanganku kembali ditarik oleh kekasihku. Beberapa saat kemudian lampu menyala lagi dan ketika lampu menyala aku terkejut melihat banyak orang mengerubuni kami dan kekasihku berada persis di depanku. Suasana café yang tadi sepi kini terdengar suara musik dan orang-orang disekitarku tersenyum-senyum melihat kami.

“ada apa ini mas?” aku bertanya dengan ekspresi benar-benar kebingungan tak mengerti.

“dek, kau dengarkan baik-baik ya”

“apa maksudmu mas”

“dengarkan ya. Tadikan mas bilang kalau lebih baik kita mengakhiri pacaran kita. Artinya setelah itu mas ingin menjadikanmu istriku. Kita tidak lagi pacaran tapi suami istri”

“apa mas?”

“iya, kita akan menjadi suami istri. Kita akan menikah”

“mas…”

“berikan jari manismu!”

Aku tersipu malu sambil mengangkat tanganku. Kekasihku melihat ekspresi wajahku. Dia tersenyum manis seakan meyakinkanku bahwa niatnya adalah serius.

“ini, kupakaikan cincin di jari manismu sebagai ikatan bahwa saat ini aku melamarmu”

Saat itu aku benar-benar tambah bingung tak tahu apa yang kurasakan. Yang pasti aku bahagia. Aku memeluk kekasihku, mendekapnya lebih dalam dan erat. Tangisku kembali menjadi namun kali ini aku menangis bahagia. Aku sangat bahagia. Aku katakan padanya bahwa aku sangat mencintainya dan kekasihku mencium keningku sangat mesra. Terima kasih mas untuk semuanya.

***

“terus nek, setelah itu kejadiannya bagaimana?” tanyaku kepada nenek yang begitu semangat menceritakan masa lalunya. Peristiwa kakek melamar nenek di sebuah café.

“ya… saat itu semua orang bertepuk tangan memberi ucapan selamat kepada nenek dan kakek, cu. Tidak lama dari itu, ternyata orang tua nenek dan kakek, buyut-buyutmu, datang. Ternyata nenek sudah dibohongi indah oleh kakekmu.

“ehm, cerita nenek romantic banget ya…?”

“ya, begitulah cu. Sudah ayo cepat tidur kamu, besok kamu bangun keisangan lo..”

“baik nek, good night grandma”

“nice dream cu”

Akupun tidur pulas setelah mendengar cerita masa muda nenek dan kakek.

The End

(ini benar-benar fiksi jika ada kesamaan tempat, lokasi dan peristiwa adalah ketidaksengajaan)

Yogyakarta, 26 Mei 2011




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline