Lihat ke Halaman Asli

Hiperealitas dan Proliferasi Nilai Kasus Terorisme Sarinah, Jakarta. “Perlawanan Simulakra #KamiTidakTakut”

Diperbarui: 20 Januari 2016   09:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasca teror bom yang terjadi di Sarinah jakarta, pengguna netizen di Indonesia mulai menyebarkan beberapa seruan #KamiTidakTakut yang selang 3jam kemudian menjadi trending topik dunia, begitupun dengan beberapa gambar “lucu” “dagelan” simulasi yang menekankan adanya perlawanan melalui simbol. Simbol-simbol #IndonesiaUnite #KamiTidakTakut , publikasi media mengenai beberapa penjual kacang, sate, yang beraktifitas seperti biasa, tontonan adegan penembakan, dsb dari kejadian terorisme menjadi suatu konsumsi media Netizen sebagai fenomena lucu untuk memanipulasi ketidaktakutan. Teroris adalah objek dan #KamiTidakTakut adalah the simbolic. Namun ini tidak bisa diterima penulis tanpa kritikan. Justru ini menimbulkan realitas yang berlebihan. Pertama, media memunculkan teroris sebagai artis. Kedua, terjadi pergeseran makna dari essensi kejadian teror tersebut.

Mari kita tarik lagi tentang hiperealitas dan proliferasi Nilai.

Sistem proliferasi nilai dan kelelahan makna terhadap objek ini didasarkan pada penghapusan oleh the Simbolic. Menurut Baudrillad, sesuatu yang simbolis itu adalah apa yang dikecualikan dari nilai dan apa yang dapat datang kembali untuk menghantui nilai. Nilai terorisme yang terjadi dan saat the simbolic dapat diambil untuk berfungsi sebagai realitas balas dendam terhadap teroris, yaitu pemaknaan yang sangat ingin untuk dipulihkan kembali. Dan ternyata “the simbolic” itu masih menghantui dalam media-media sosial modern sebagai prospek bagi kematian nilai terorisme. Hal-hal ini hanya memori obsesif, suatu demand yang tak henti-hentinya ditekan oleh hukum nilai. Yang tampak mustahil dari the simbolic ini adalah apa yang dilihat baudrillad tentang “fluktuasi yang semakin meningkat atas kesamaran” (Baudrillad 1988a:120) dari keadaan sosial.

Sebagaimana dalam Symbolic Exchange, tulisan Baudrillad mengacu pada penyerapan total dan pengolahan ulang prinsip realitas dalam sistem nilai dan sistem pemaknaan sebagai suatu “Hyperreality” (realitas yang berlebihan) dan “Simulation” (sismulasi). Dalam konteks hiperealitas, simulasi adalah satu-satunya cakrawala kemunculan yang mungkin bagi objek maupun subjek. “The Simbolic” dan “Accursed share”nya tidak mempunyai pilihan lain kecuali mewujudkan diri mereka sebagai realitas yang tersimulasi. Maka dari itu, dalam simulasi adalah kondisi kedapatbalikan dari suatu sistem tidak pernah bisa dijamin.

Hiperalitas dan kekuatan simulacrum/simulakra (tiruan atau hasil simulasi) telah menjadi praktik dan gambaran mengenai kondisi teror yang terjadi di Sarinah, Jakarta. Simulasi adalah refleksi tetang realitas atau apa yang masih tertinggal setelah sistem pemaknaan, penilaian dan sistem sign, kode, model, atau media yang telah menelannya habis-habisan. Simulasi muncul sebagai upaya (oleh media) untuk menciptakan kembali realita sesuai kode-kode yang dihasilkan model dan media itu sendiri #KamiTidakTakut. Dengan demikian, ada tujuan tertentu secara sengaja untuk menyebarkan simulakra (tiruannya), atau upaya menekankan realitas dominan.

Jika dilihat dari logika tindakan teroris, pertama ini adalah Strategi visibility, yaitu strategi yang ditekankan pada objek yang memiliki massive effect, surprisse effect atau yang mampu berdampak pada semua entitas. Kedua. Karena konteksnya jakarta dan tepatnya titik bom di Sarinah, Thamrin. Coba dilihat lagi, tempat-tempat tersebut adalah jantung kota jakarta dianggap mampu menarik perhatian sasaran dan membawa surprise dan shock effect secara massive untuk menimbulkan logika rasa takut terhadap objek keadaan sebagai suatu indikator keberhasilan tindakan teror tersebut.

Selang tiga jam kemudian, netizen mulai memunculkan simbol #KamiTidakTakut, #IndonesiaUnite dan sebagainya, disusul dengan gambar-gambar dagelan sebagai bentuk perlawanan. Perlawanan dengan mendasarkan strateginya pada permainan reversibiltas ini berada pada tataran simbolik #KamiTidakTakut. Jika perlawanan pada umumnya diarahkan kepada dalang maka perlawanan simulakra adalah perlawanan yang dilangsungkan justru di medan itu sendiri. Ini penulis sebut sebagai “reversibility”. Perlawanan simulakra tidak mencari esensi dari suatu kriminalitas (Teroris) melainkan justru ia beroprasi dalam dan melalui logika kriminalitas itu sendiri.

Disisi lain, ini menjadi sebuah realitas yang berlebihan (hiperealitas) . sekiranya bisa dipahami beberapa kontroversi yaitu poliferasi nilai berputar-balik, menyimpang, berdeviasi dari arah yang berimplikasi pada pemahaman essensi terror. Kesemuainya ini demi menyudahi dan melawan euforia selebrasi menjadi sang teroris sebagai artis. Kotraproduktif terjadi karena hanya menjangkarnya kampanye dalam perlawanan simulakra tersebut. Sampai disini setidaknya memotivasi terjadinya “transpolitical” dimana terjadi peredaran lebih jauh atas aliran proliferasi nilai gambar atau simbol dan menjenuhkan cakupan media.

 

Semoga bawa Manfaat

Rayla Prajnariswari B.K

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline