Aku senantiasa berangkat ke kantor di daerah Sudirman -Thamrin melalui tol Alam Sutera. Dalam perjalanan, kendaraan biasanya harus berhenti sesaat karena lampu merah di perempatan Tomang.
Suatu ketika, di depan lampu merah yang sedang menyala,aku melihat seorang wanita hampir paruh baya, tengah menggendong anak kecil. Memang sering kali aku melihatnya. Namun kali ini ia terlihat berbeda. Biasanya ia mendatangi mobil satu persatu untuk meminta-minta, tapi tidak hari itu.
Ia mendekati kendaraan silih berganti sambil menawarkan barang dagangan, seperti air mineral, rokok, permen dan barang-barang lain yang biasanya dibutuhkan orang di perjalanan.
Yah... hari itu, bertepatan dengan bulan puasa, dan ia tidak mengemis. Sekarang ia tengah bekerja. Ia telah mengangkat dirinya menjadi seorang yang memiliki martabat, bukan manusia yang merendahkan dirinya dihadapan orang lain dengan meminta-minta.
Ia melambaikan barang dagangannya dan hampir mengetuk jendela mobilku. ”Aqua.., permen pak..., untuk buka puasa...” katanya dengan tersenyum.
”Aqua botol.., dua.., yang ga dingin ya...” pintaku.
”Sekarang jualan ya bu...”
”Iya pak... habis malu minta-minta terus... ”
”Alhamdulillah... smoga lancar ya bu...”
”Trima kasih pak...” sahutnya sambil mengangguk.
Aku membayarnya dan menutup jendela. Kuangkat tangan dengan isyarat salam sambil berlalu. Sesaat baru ku sadar, kala itu ia telah bersiap mengulurkan tangannya untuk memberiku uang kembalian.
Sembari memacu kendaraan, aku berfikir, sesungguhnya ibu itu termasuk orang-orang yang berniat untuk berubah menuju kebaikan. Padahal, dengan mengemis, bisa saja ia mendapatkan penghasilan yang lebih dibandingkan berjualan seperti itu. Tapi toh, tidak dilakukannya lagi. Di kota yang keras dan sering kali tidak mengenal rasa belas kasih ini, ia merangkak dan berjuang untuk menjadi orang yang ”terhormat”.
Orang-orang sepertinya, pedagang asongan, mbok jamu, penarik becak dll, tentu lebih mulia dibandingkan koruptor. Mereka tidak meminta-minta kepada siapa pun, apalagi menjarah harta milik negara dan menjual jabatannya.
Mereka tersebar di kota dan negeri ini. Jika pemerintah ingin memberantas para pengemis (kemiskinan), mengapa tidak diupayakan adanya pemberdayaan bagi mereka. Solusinya bukan sekadar ditangkap, didata (diceramahi) dan dipulangkan (biasanya ya balik lagi).
Namun apakah pemerintah mau dan berupaya memompa semangat mereka, untuk berjuangdan berusaha bekerja secara mandiri. Alih-alih buat gedung baru DPR triliunan, atau membangun rumah dinas pejabat milyaran (padahal yang lama masih bagus), mengapa tidak diarahkan untuk pemberdayaan mereka?
Memberikan modal usaha sesuai kemampuan dan tanpa jaminan kepada mereka, harus dibarengi arahan dan pembinaan usaha yang sungguh-sungguh dari pemerintah. Jika para embrio ini berhasil menjadi pengusaha mikro, bukan tidak mungkin pengemis akan jarang terlihat di negeri ini.
(kunjungi pula blog penulis di http://yusranisnaini.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H