Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Pajak Freeport masih diklaim PemPus

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PT. Freeport Indonesia belum menjalankan amanat UU Otsus untuk membayar pajak pertambangan umum pada Pemerinah Propinsi Papua. Pemerintah pusat di Jakarta masih terus mengklaim atau merampas hasil dari Freeport. Sementara UU Otsus mengamanatkan bahwa setiap perusahaan pertambangan umum, seperti PT Freeport Indonesia, wajib membayar pajak bagi hasil sumber daya alam sebesar 80 persen kepada Propinsi Papua.

Sumber terpercaya di Timika mengungkapkan bahwa sampai dengan saat ini Freeport hanya membayar pajak bagi hasil sumberdaya alam sebesar 18 persen atau sekitar Rp 500 miliyar saja. Padahal seharusnya 80% atau sekitar Rp.6 Triliun sesuai dengan amanat Otsus. Hal ini kemudian dibenarkan oleh Wakil Gubernur Papua, Alex Hesegem. Dalam Rapat Evaluasi Kinerja Dinas Pendapatan Daerah se Papua di Hotel Sheraton di Timika pada 7 Oktober 2008, Alex Hesegem mengatakan bahwa pihaknya sudah mengusulkan untuk menaikkan pajak bagi hasil dari pengelolaan sumberdaya alam kepada Pansus DPR-RI dan pembahasannya sudah selesai. Namun belum ada realisasinya, sehingga pemerintah provinsi akan terus berusaha melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat, supaya hak provinsi Papua bisa didapatkan sesuai apa yang diamanatkan UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Wagub Papua menegaskan bahwa namanya undang-undang itu harus dipatuhi, bukan malah dipolitisir lagi sehingga daerah yang bersangkutan tidak mendapatkan haknya.

Wagub Alex Hesegem pun berharap ada dukungan masyarakat supaya perjuangan untuk mendapat kan pembagian pajak 80% dari hasil sumberdaya alam dapat tercapai segera. Wagub menegaskan bahwa pajak ini sangat diperlukan karena royalty dari Freeport Indonesia yang mengambil hasil dari Tanah Papua itu hanya Rp.400 sampai dengan Rp.500 milliyar per tahun. Menurut Wagub, sikap pemerintah pusat yang masih terkesan mempermainkan pemerintah daerah, karena semestinya sudah harus berlaku sejak tahun 2002 yang lalu atau terhitung diberlakukannya UU 21/2001.

Terkait wajib bayar pajak, Wagub menegaskan bahwa siapa saja atau perusahaan mana saja yang datang ke Papua harus patuh dan taat pada aturan UU Otsus. Karena sesuai UU Otsus pasal 34, ayat 3, poin b, disebutkan, bahwa bagi pengelola sumberdaya alam untuk pertambangan umum sebesar 80% per tahun. Menurut Wagub Alex Hesegem, kalau pajak 80% itu sudah menjadi hak kelolanya daerah provinsi Papua, maka bisa menjamin kesejahteraan masyarakat, terutama di kabupaten Mimika. Coba bayangkan saja, kota Timika yang sekarang ada ini wajahnya tidak seperti kota yang diharapkan. Karena sekalipun Freeport itu berada di kabupaten Mimika, tetapi masih bergantung pada alokasi dana APBN. Anggaran tidak cukup untuk membangun sarana penunjang di kabupaten yang sudah sejak tahun 1969 dikenal sebagai Kota Emas di Tanah Papua dan Indonesia. Makanya, UU Otsus merupakan peluang dimana masyarakat bisa mendapatkan hak mereka, yang tentu melalui sistem bagi hasil berupa pajak yang dijembatani oleh pemerintah Provinsi.

Sumber terpercaya di Mimika menjelaskan bahwa Freeport juga memberikan kontribusi untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) Propnsi Papua dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Pajak Balik Nama Kendaraan Bermotor (PBNKB) serta Pajak Air Bawa Tanah. Semua jenis pajak itu masuk ke kas daerah provinsi Papua. PT Freeport di Kabupaten Mimika memiliki 1.200 unit kendaraan, termasuk alat berat. Dari 1.200 unit kendaraan itu, PT. Freeport wajib membayar PKB Rp.500 milliyar per tahun. Sedangkan PBNKB sekitar Rp.5 miliyar per tahun, dan Pajak Air Bawa Tanah sekitar 10,45 miliayar per tahun. Dari Pajak Bagi Hasil ini, khusus untuk pajak air bawa tanah dan bahan bakar, provinsi mendapat 30 persen dan kabupaten mendapat 70 persen. Jadi selama ini, Freeport membayar ke pemerintah provinsi Papua dari pajak pertambangan umum, royalti, PKB, PBNKB dan pajak air bawa tanah sebesar Rp.1,415,45 triliun sampai Rp.1,515,45 triliun. Padahal kalau menurut amanat Otsus, PAD Provinsi Papua yang diperoleh dari Freeport seharusnya bisa mencapai Rp.6 triliun sampai 10 triliun lebih per tahun, kalau PBH 80% Freeport itu sudah menjadi haknya Papua. Tapi jumlah ini masih menjadi impian bagi pemerintah dan masyarakat di Tanah Papua, sebab Jakarta masih mengklaim apa yang sebenarnya menjadi haknya orang Papua. Pemerintah pusat yang memegang semua kendali atas kebijakan mengenai pembagian hasil dari perusahaan-perusahaan pengelola sumberdaya alam yang bekerja di Tanah Papua. Namun demikian, pemerintah daerah provinsi sedang berusaha untuk mendapatkan hak masyarakat Papua itu. Karena itu, dukungan masyarakat sangat diperlukan, karena UU Otsus adalah bukti bahwa pemerintah pusat mengakui kekayaan alam Tanah Papua yang seharusnya dinikmati oleh orang Papua.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline