Masa reses datang dan saatnya komisi - komisi DPR melakukan kunjungan. Biayanya pun tidak tanggung-tanggung, Milyaran rupiah. Akibatnya, Studi banding "perwakilan rakyat" ini pun menjadi perhatian. Terlebih lagi setelah M. Syaltout, mantan ketua PPI Perancis (CMIIW) menceritakan kejadian-kejadian "menarik" para dewan terhormat ketika melakukan kunjungan ke Perancis dan Belanda tahun 2006 lewat jejaringan sosial, Twitter.
Kunjungan Komisi VIII DPR RI ke Australia lah yang menjadi sorotan terbesar oleh media. Mungkin setelahnya adalah Komisi X ke Spanyol. Sementara itu, kunjungan BURT DPR RI ke Inggris nampaknya tidak tercium oleh media. Tentu saja masyarakat tetap menanti cerita - cerita lain yang mungkin tidak kalah menariknya dari cerita Komisi VIII.
Penulis berpikir keras, dari semua kunjungan ini, mengapa tidak ada yang singgah ke Malaysia? Bukankah lebih murah? Bukankah lebih dekat? Bukankah lebih efektif? Bukankah kita banyak isu yang membuat kita penasaran? Contoh kecilnya saja, kenapa jika ada eksibisi internasional, Malaysia menggunakan Rumah Minang sebagai ciri khas mereka? Mengapa Malaysia mau memindahkan Museum Kerinci dari Jambi ke Kuala Lumpur? Mengapa rakyat Malaysia kerap menggunakan kata "indon"? Mengapa Malaysia menjadi maju dan mengambil posisi Indonesia? atau memang segitu butanya kita tentang kemajuan Malaysia?
Contoh kecilnya adalah kunjungan Komisi X ke Santiago Bernabeu, Madrid, Spanyol. Alasan yang dikemukakan oleh Rully Chairul Azwar, sang pimpinan rombongan, adalah bagaimana memadukan industri olahraga dan pariwisata. Tentu saja argumen ini sangat lemah. Indonesia dan Industri olah raga? Sekali lagi, Industri Olahraga? Dengan kondisi PSSI yang kisruh? Kenapa tidak belajar dari Program pariwisata Malaysia?
Malaysia memadukan industri pendidikan dan kesehatan dengan pariwisata. Pada umumnya, WNI dari Sumatra, Kalimantan, dan Jawa pergi berobat ke Penang, Malaka, Johor, dan Kuala Lumpur sekaligus melakukan pariwisata. Ini yang mereka sebut sebagai medical tourism. Kenapa tidak belajar tentang ini? Bukankah begitu banyaknya pelajar Malaysia belajar Kedokteran di Indonesia? Lalu kok bisa kita tetap berobat ke Malaysia? Apa yang salah? Kenapa kita tidak bisa mengembangkan Industri ini? Hal ini lah yang patut jadi perhatian anggota dewan terhormat. Bukan pergi berfoto di depan stadion Real Madrid lalu bertanya dengan penjaga stadium tentang pariwisata.
Begitu juga halnya dengan Edutourism. Semenjak Malaysia membuka diri terhadap pelajar-pelajar Jazirah arab, Iran, Asia Minor, Cina, dan Asia Selatan, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dari Negara-negara tersebut pun ikut meningkat di Malaysia. Kenapa? Sederhana saja, seorang pelajar dari Negara-negara tersebut tentu datang dengan keluarga mereka. Lalu, pelajar ini menceritakan tentang Malaysia ke temannya di Negara asal. Atau bahkan keluarganya bercerita tentang Malaysia ke teman-teman lainnya. Ditambah lagi tiket murah dari Air Asia. Jumlah wisatawan pun akhirnya meningkat. Makanya, anda jangan heran jika melihat akhir - akhir ini banyak wisman dari Iran berkunjung ke Indonesia. Itu karena efek domino dari edutourism Malaysia. Pelajar - pelajar Iran di Malaysia, yang notabene tidak memerlukan visa jika ke Indonesia, menyempatkan diri untuk berlibur ke Indonesia ketika temannya dari Iran datang berkunjung ke Malaysia. Lalu, kenapa tidak mempelajari hal ini?
Tentang edukasi, tahukah para anggota dewan terhormat, baru - baru ini Pemerintah Malaysia mengeluarkan kebijakan baru bernama MyBrain? Artinya, setiap penduduk, tidak peduli baru saja lulus, atau pegawai negeri, atau aktivis LSM, atau pegawai korporat, memiliki kesempatan yang sama untuk melanjutkan studinya ke jenjang Master dan Doktoral. Penghasilan dari BUMN - BUMN dialihkan untuk menyekolahkan warga Negara. Kenapa tidak studi banding tentang ini?
Atau tahukan anggota dewan terhormat, kalau pemerintah Malaysia mengeluarkan kebijakan baru bernama APEX? Artinya, pemerintah Malaysia, memilih satu universitas (Universiti Sains Malaysia) dan memberikan dana sekitar 2,4 T rupiah untuk mampu menembus 200 besar dunia di tahun 2012. Lihat saja jumlah penelitian Universitas tersebut meningkat berlipat-lipat akibat program APEX tersebut. Mengapa kalian tidak mau belajar tentang ini?
Tahukah anggota Dewan terhormat, kalau rapat anggota DPR Malaysia selalu ditayangkan secara langsung di televisi setiap pagi? Sehingga kita tahu anggota DPR mana yang bekerja, dan mana yang sedang menonton lewat telepon genggamnya. Kenapa tidak berani mencontoh hal ini? Atau kita lebih memilih menyiarkan langsung pertandingan bola liga Inggris daripada mengetahui rekam jejak kalian?
Atau tahukah anggota dewan terhormat, kalau Petronas berhasil merambah dunia konglomerasi, dimana Pertamina gagal melakukannya dulu? Kita masih ingat anekdot tentang pertamina: sejauh batu kita lempar, akan jatuh ke aset Pertamina. Contoh kecil Hotel Patrajasa, Pelita Air, dan banyak lagi. Tapi gagal secara bisnis. Beda halnya dengan Petronas. Kenapa anggota dewan tidak mau belajar tentang ini?
Belum lagi kita bicara program Mobil Nasional, Perluasan Perkebunan secara internasional (Dari Laos hingga Timor Leste), Perancangan Malaysia sebagai Hub untuk sertifikasi Halal dan Ekonomi Syariah, Low Cost Carrier, atau mungkin Program Pengentasan Kemiskinan di Kelantan, Sabah, dan Sarawak. Kenapa harus ke Eropa, Australia, dan AS?