Hari jumat siang, jam 11.30. Ketika itu perut terasa sudah lapar. "Makan mana yah?" pikirku sejenak. Tidak lama seorang wanita dari cubicle sebelah memanggil ku. "Bos...makan mana nih? Ikut dong." Sekretaris departemen memanggil ku. "Loh, kamu gak puasa mba" tanya ku. DIa menjawab "Nggak kok, dah 2 hari nggak dulu. Jadi makan mana kita? dah keburu siang nanti."."Mau makan diluar kantor aja mba? kita ke mall deket sini yuk?" jawab ku. "Oke deh.. atur aja" DIa senang gitu dapet teman makan siang.
Memang sedang bulan puasa, dan Sekretaris departemen ku ini seorang muslimah, dia ibu beranak dua. Alasan mengapa ia tidak berpuasa aku tidak menanyakannya. Tetapi karena banyak yang sedang puasa akhirnya dia bingung mencari teman makan hari itu. Akhirnya kami bersama sama pergi mencari makan siang di Mall. Tak pusing pusing mencari makanan kami berhenti direstoran Menado. Kalau kata temen kuliah ku dulu Menado artinya "MEnang NAmpang DOang".
Ditengah saat kami sedang makan, terjadilah sebuah percakapan yang cukup membuka pandangan saya terhadap suatu masalah. Sekretaris departemenku ini bercerita mengenai cultural shock yang mulai dialami oleh anaknya. "Bos, aku merasa lucu kalau ada pertemuan orang tua murid. Heheheh. Abis gimana yah. Anaku itu sekolah di sekolah islam. Seragamnya pasti mengharuskan dia menggunakan jilbab. Nah kalau ada pertemuan orang tua murid semua pakai jilbab. Aku doang yang gak pake. Tapi yah aku emang gak pernah pake jilbab sih, ke pengajian pun aku gak pake jilbab kok, paling bawa selendang doang." ceritanya. "Oh yah? terus gimana?" tanya ku. Dia melanjutkan "Yah anak ku sepertinya sudah mulai merasa suatu cultural shock didirinya. Suatu pagi ketika aku mau mengantar anak ku dia bilang, "Bu pakai jilbab dong!" Aku bilang, "Kan ibu mau kerja jadi ibu gak pakai jilbab". "Tapi semua ibu temen aku pakai jilbab, ibu pakai dong biar sama." kata anak ku. Aku bilang lagi "Yah Tuhan menciptakan manusia itu berbeda beda, kenapa jadinya harus sama dengan orang lain?". Tapi yah tampaknya dia tetap ingin ibunya makai jibab agar gak beda sendiri di sekolah. Memang sih aku paham kalau sekolah anak ku itu lingkungannya homogen, semua pakai jilbab, tetapi ketika dia diluar sekolah, dia akan bertemu dunia yang heterogen, dengan mengunci diri dia dalam dunia homogennya maka dia akan mengalami resistensi terhadap dunia yanglebih luas dibanding dunia sekolahnya.". "Iyah, benar juga." kata aku. Kemudia dia berkata "ada kejadian lain ketika kami sedang pergi ke mall, dan anakku tidak memakai jilbabnya, suatu ketika tiba tiba dia ngumpet dibalik diriku. Aku tanya "Loh ada apa nak?" dan dia bilang bahwa ada temannya. Aku bertanya "Loh lalu kenapa?", dan dia menjelaskan katanya disekolah kalau bertemu teman harus disapa dan kalau tidak memakai jilbab harus ditegur.". "Oh kok ngajarinnya gitu sih?" tanyaku. Memang kalau di sekolah adalah wajib menggunakan jiblab karena peraturan bisa dipahami tetapi ketika diluar dia merupakan tanggung jawab orang tuanya bukan sekolah yang mengatur dia bahkan cara berpakaiannya. "Iyah, itulah yang kadang aku kurang setuju cara pengajarannya. Aku memasukan dia ke sekolah Islam yah biar pandai mengaji dan hafal Qu'ran. Bagus lah ia bila bisa hafal Qur'an aku pun senang. Tetapi aku gak mau anak ku cuma bisa hafal tanpa ngerti esensi dari ajarannya. Aku gak mau dia diajarkan nilai nilai islam dengan cara ditakut takuti, Sehingga dia menuruti suatu ajaran agama bukan karena dia memahami tetapi karena dihantui rasa takut. Memang mengajarkan anak kecil pendekatannya reward dan punishment, tetapi aku gak mau kalau anak ku di cetak seperti barang produksi masal yang nantinya diharap menjadi produk yang serupa sesuai dengan keinginan sekolahnya. Aku mau anakku yang dilahirkan unik memiliki kebebasan dia mengembangkan keunikan dirinya. Karena memang lingkungannya homogen dan dia cenderung menyamakan dirinya dengan temannya bukan menonjolkan dirinya yang unik dari setiap pribadi.".
Disitulah aku terhenyak, aku baru menyadari. Apa yang terjadi dilingkungan kita selama ini. Pertikaian antar umat beragama. Keegoisan masing masing kelompok untuk menjadikan kelompoknya paling mayoritas. Karena dari kecil dididik untuk menjadi homogen, bukan untuk berbaur dengan dunia yang heterogen. Ketika mereka sudah berhasil menyamakan dirinya dengan lingkungannya dalam suatu kelompok homogen tersebut, mereka merasa bahwa sudah mecapai tujuan dari pendidikan dan jalan hidup mereka. Dan ketika mereka keluar dari lingkungannya mereka menemukan dunia yang heterogen. Didalam dunia itu mereka menyadari ketidak berdayaan mereka, dunia sangat luas dan berbeda dari apa yang mereka pelajari. Mereka merasa tersisih. Dan karena apa yang mereka pelajari selama ini bukan berbaur dengan dunia heterogen ini, kahirnya mereka malah berusaha mengubah dunia yang heterogen menjadi dunia yang homogen. Itu lah yang terjadi dimasyarakat. Mereka tidak bisa terima perbedaan, karena dalam perbedaan mereka tidak berarti, karena mereka tidak pernah diajarkan untuk mengembangkan diri mereka menjadi sesuatu yang menonjol dan unik dalam dunia heterogen. Mereka ingin agar semua orang sama agar paling tidak mereka sejajar dan sama, tidak lebih rendah dan tidak berarti. Upaya menyesuaikan dirinya dibalik, bukan mengembangkan dirinya tetapi mengunci orang lain dengan mengubahnya menjadi seperti dirinya, dunia yang terbatas.
"Bos... bengong aja..!!!" aku ditegurnya. "Eh iya...bener juga sih kata kamu. Nantinya anak kamu pengertiannya jadi salah. Bukannya dilarang karena memang tidak boleh, akhirnya jadi tidak boleh karena dilarang." sambut ku. "Itu dia bos, aku gak mau anak ku seperti orang yang sholat 5 waktu rajin, tapi kerjanya nginjek orang dijalanan, jadi preman, pake jilbab tapi cowoknya 10 orang. Hahahaha.." katanya. "Iyah yah... hahahha, Tapi dari pada jadi kayak gw ? gimana..?" tanya ku. Dia menjawab " Yah gw paham lah bos, lu juga di besarin di keluarga baik baik yang taat beribadah, tapi menemukan tuhan itu perjalanan masing masing setiap orang, bukan karena dipaksa oleh orang tua, Gw ngerti kalau elu biar gak percaya ma Tuhan juga biar dah dididik ma keluarga lu dari kecil. Tapi kelakuan dan perbuatan lu bukan seperti orang munafik. Gw tau lu suka nolong orang, bantu semua kegiatan amal. Jangan kayak yang ngaku bertuhan tapi nyakitin orang terus kerjanya.". Gile jadi tersanjung gw dibilang gitu. "Memang sih, yang gw pernah denger ada pertanyaan agama apa yang paling bener? jawabannya adalah, agama yang paling mendekatkan diri lu dengan tuhan. Apapun agamanya kalau perbuatan lu gak mencerminkan perbuatan seorang manusia yang baik, cuma seorang munafik yang ingin beli surga pakai ngamalin ibadah doang, gak akan tercapai usaha loe itu. Tetapi yakin bahwa perbuatanlu memberikan kontribusi bagi diri lu, dan bagi orang orang disekitar lu, bukan merusak, tetapi membangun keharmonisan. Gw yakin, apapun agama lu, Tuhan gak buta melihat bahwa manusia manusia seperti ini yang mengamalkan apa yang dia inginkan." Tambah ku di akhir diskusi.
"Tuh kan boss, biar loe atheis, loe lebih cocok ngotbah jadi pendeta dari pada orang sesat. Hahahahah"
Yah tetep aja label gw atheis di mata orang.
Hehehehehhehe....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H