Lihat ke Halaman Asli

Raya Pambudhi

Mahasiswa Hukum

Kritik yang Destruktif

Diperbarui: 18 Oktober 2021   23:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. Pribadi

Dalam perjalanan panjang Demokrasi di Indonesia sedari masa transisi Reformasi yang menjadi monumen pembumi hangusan  pemerintahan rezim otoriter, dimana kala itu adalah sebuah lorong sesak yang amat stabil dan tertata, dengan dipenuhi nafas panas militer perpanjangan tangan Bapak Suharto, Sang Presiden 3 Dekade yang harus dimakzulkan oleh Pemuda saat itu. 

Hari ini, menjadi sebuah angin segar bagi jurnalis dan aktivis untuk menyesap fakta dan peristiwa lalu menghembuskannya menjadi informasi kepada masyarakat luas, dengan bantuan platform serta media Digital setidaknya masyarakat menengah sudah bisa mendapatkan informasi di lingkungan yang dia tidak hidup disana. 

Namun, tiada kucuran keringat yang manis terlebih dari para jurnalis yang menjadikan idealisme dan budaya kritis sebagai alat pendongkrak Hak-hak masyarakat untuk mengetahui informasi secara subyektif dan jernih. masalah yang terjadi saat ini adalah pelabelan HOAX ataupun Radikalisme kepada media yang memberikan komentar miring dan terserdengar Non-supportif.

Munculnya Tagar #PercumalaporPolisi yang seharusnya menjadi sebuah indikator bagi Instansi Kepolisian bahwasanya ada yang sedang tidak baik-baik saja, malah di jadikan sebuah pemantik tanda tanya yang digunakan Kepolisian dalam mempertanyakan "apakah upaya yang dilakukan netizen di media seperti itu Solutif ?".

dalam cuitannya Yunus Saputra, seorang Kepala Analisis di CCIC, Pada aku Pribadi miliknya @m1_nusaputra ia mengucapkan :

Cara menyampaikan kritik ala barat yang menurut saya dapat melengkapi nilai ketimuran:

1. Berikan apresiasi atas sudut pandang yang memang baik dari lawan bicara 

2. Berikan sudut pandang yang berbeda 

3. Sampaikan kritiknya (konstruktif)

Menanggapi Cuitannya tersebut, sudah sangat aneh jika saat ini ia mempolarisasi sebuah madzhab pemikiran logika dan metode kritis secara barat dan timur, ini akan menjadi sebuah olok-olok bagi para filsuf yang memahami sebuah sikap Dikotomis yang didasari stigma yang hanya berdasarkan pemahaman permukaan (Surface Comprehension), dan yang menjadi poin yang saya tertarik untuk tanggapi adalah Frasa pada poin ketiga mengenaii Kritik Konstruktif atau Membangun. 

Saya pribadi masih belum paham soal bagaimana Sebuah Kritik bisa membangun? Membangun atau tidak membangun adalah persepsi dari penerima kritik, yang dasarkan sebuah kritik itu bersifat neutral, namun bisa menjadi Konstruktif atau Destruktif itu bergantung pada upaya menanggapi kritik tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline