Lihat ke Halaman Asli

Memory of Rain

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Suara itu hadir lagi, suara yang mampu memaksaku berhenti memelototi layar laptop di depanku. Aku memandang ke luar melalui jendela yang terbuka. Pepohonan jati di kebun sebelah, atap seng garasi, jalanan semen di halaman, semua mulai ternoda oleh tetesan air yang tercurah dari langit pagi.

Hawa sejuk dan segar masuk melalui pintu yang juga terbuka. Menghembuskan napas lega dari langit yang muak dengan asap. Meniupkan kebahagiaan tanah yang merindu air untuk menyegarkannya.
Hawa itu, ya, hawa yang sama dengan hawa dalam kenangan. Kenangan-kenangan yang sempat terbenam dalam tumpukan memori yang bertambah tiap hari. Kenangan yang berbeda dan melibatkan mereka yang berbeda, dengan satu kesamaan, hujan sebagai latar belakang.

Aku keluar dari kamar dan duduk di teras depan. Tak kupedulikan angin dingin nakal menghembus kulitku yang tak tertutupi oleh kaos dan celana pendek yang kukenakan. Tak ragu aku duduk dan merasakan air mata langit pagi yang kelabu tua.

Aku tersenyum, tiap tetes mampu membangkitkan kenangan dari mereka yang dahulu. Mereka yang telah berlalu, maupun mereka yang masih di dekatku. Mereka yang membuatku menangis pilu, maupun mereka yang membuatku menangis pilu.

Tetes-tetes air yang membasahi lutut mengingatkanku pada dia yang sering membawaku ke laut. Bukan dia yang mau, aku yang menuntut. Aku suka wangi hujan yang bercampur aroma laut. Dia yang sabar menungguiku memandangi ombak yang merajuk, menghantam dermaga kecil tempat kami duduk memeluk lutut.

Kuulurkan tangan merasakan air hujan. Mengingatkanku pada dia yang pernah menggenggam tangan. Menuntunku setengah berlari berlindung dari hujan. Genggaman kuat dan menghangatkan, yang mampu membuatku merasa aman.

Aku bangkit dari tempat dudukku dan berjalan memasuki hujan. Kutundukkan kepala menatap jalanan. Kurasakan tiap aliran air yang membasahi badan. Tak merasakan dingin air, justru teringat pada hangat tangan di pundak. Dia yang tahu aku benci petir, dan dia menenangkan.

Tersenyum, kuangkat kepala ini perlahan. Aku menengadah menghadap langit yang masih berawan. Kubiarkan tiap tetes membasahi wajah. Kurelakan tiap tetes menyamarkan tetes dari mata yang terpejam.
Kini seluruh tubuh telah basah. Aku tertawa, tak hentinya mengagumi ketakjuban pada hujan yang selalu mampu membangkitkan kenangan. Juga kutertawai luka-luka yang kini telah kuikhlaskan. Kutertawai egoku yang nyaris selalu meraja.

Salah satu dari mereka pernah mengungkap sifatku, sebagai cerminku. Aku keras hati, ya, memang. Kekerasan yang semakin keras bila dihantam dengan kekerasan pula, macam bola yang membal bila ditekan. Aku juga lembut, walau tak selalu kutampakkan. Kelembutan macam air sungai yang lembut mengayun dan ternyata tak sadar orang jauh dihanyutkan. Dia, cermin jiwa, yang mengenalku apa adanya, dan kemudian meninggalkanku terluka.

Semenjak itu aku terus belajar untuk bangkit. Menata ulang hati yang terluka cabik. Mengusir sakit di hati dan belajar tersenyum lagi. Bahkan belajar menahan ego yang telah menghancurkan diri.

Kini kutahan ego sekuat tenaga. Bahkan tak mengungkap bahwa hati ini menyimpan satu nama. Tak seperti dulu, bebas saja kukatakan apa yang kurasa. Belajar bersabar, belajar menerima. Apalagi logika menunjukkan nyatanya perbedaan. Perbedaan yang dulu mungkin tak adil kurasa, kini kuterima apa adanya. Bila jadi bersyukur, tak jadi pun takkan hancur.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline