Sudah lama saya tidak menulis di platform Kompasiana, dan akhirnya saya memutuskan untuk login kembali. Setelah berhasil masuk, terdapat notification yang mengharuskan saya untuk melakukan validasi akun. Ya, saya pun melakukan validasi diri dengan menginput no. NPWP, alamat, no. HP, dan data lainnya. Selesai, akun saya akhirnya bercentang hijau.
Hal seperti di atas terdengar familiar bukan? Ya, seperti kebijakan kontroversi PSE (Penyelenggara Sistem Elektronik) yang dilakukan oleh Kominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika), sedikit mirip namun berbeda. By the way, apakah Kompasiana sudah mendaftarkan diri? Hehe.
Kominfo mengharuskan penyelenggara sistem elektronik seperti META (Facebook, WhatsApp, Instagram), Twitter, Yahoo, Tumblr, Blogger, dll untuk mendaftarkan perusahaan mereka atau jika tidak, mereka akan mendapat ancaman sanksi pemblokiran.
Hal ini berlaku pula untuk platform yang sudah menaati peraturan dari awal dan taat membayar pajak namun akan tetap diblokir jika tidak melakukan pendaftaran. Hah? Kok bisa? Jadi fungsi pendaftaran ini untuk apa? Cuma nge-list aja? Bahkan disinyalir terdapat beberapa 'pasal karet' yang dapat melanggar HAM dan juga privasi.
Sebelum melanjutkan pembahasan lebih jauh, mari kita berkenaan terlebih dahulu dengan Technopreneur. Dilansir dari situs Exploit Times, Technopreneur adalah gabungan dari dua kata, yaitu (Techno)logy dan Entre(preneur). Jika diartikan, maka Technopreneur adalah seorang pengusaha yang memanfaatkan teknologi dalam menjalankan dan mengembangkan usahanya.
Jadi, apa saja contohnya? Pengusaha restoran yang menggunakan aplikasi GrabFood Merchant, penyanyi yang live streaming di TikTok, fotografer yang menjual fotonya di internet, dll. Bahkan penulis yang memanfaatkan platform seperti Kompasiana ini pun bisa disebut sebagai seorang Technopreneur.
Mari kita masuk ke dalam pembahasan utama, apa yang akan terjadi jika pemblokiran Kominfo ini terus berlanjut tanpa ada jalan alternatif lainnya? Kebijakan ini akan berpengaruh buruk terhadap keberlangsungan hidup para Technopreneur. Ini beberapa dampak buruknya:
1. Pelanggaran Privasi
Hal pertama yang menjadi sorotan kita adalah ketakutan akan terjadinya pelanggaran privasi seorang Technopreneur di masa depan nanti yang pelakunya adalah pemerintah itu sendiri. Lah, kok bisa?
Semisal seorang pengusaha perhiasan di online shop X yang dicurigai menerima orderan dari seseorang yang terindikasi melakukan pencucian uang. Pemerintah pun meminta online shop X untuk membuka data, dari sisi penjual maupun pembeli, dari NIK, email, no. NPWP, alamat, nomor ponsel, history percakapan, dll. Itu semua pelanggaran privasi yang amat serius.