Lihat ke Halaman Asli

Perempuan & Kebertubuhan

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terinspirasi tulisan Pramono IR (Pelukis tinggal di Jogja) dan pemotretan body printing semalam... "Tubuh adalah penjara/makam jiwa" - Plato Plato menyatakan tubuh molek adalah jalan pertama menuju keindahan absolut dan Tuhan. Dalam The Symposium, Plato menyatakan, terdapat skala kesempurnaan yang bertolak dari mencintai keindahan fisik, menuju cinta jiwa-jiwa yang indah, kemudian menaiki "tangga surga" untuk sampai pada mencintai bebagai pemikiran dan ide yang indah menuju cinta pada Tuhan yang merupakan keindahan absolut. Bagi Plato tubuh dapat mendekatkan diri kita kepada Tuhan. Tubuh yang indah dapat menginspirasi sekaligus merintangi, mencemari, mengganggu, memperbudak dan membelenggu. Dan bila kita berbicara tentang tubuh perempuan berarti berbicara tentang awal kehidupan seorang anak manusia. Bayangkan bila seorang bayi tidak menyusu, dari mana lagi ia harus mengenal kehidupan? Sejarah payudara, sejarah tubuh perempuan adalah sejarah umat manusia. Jeratan Sakral dan Profan Dunia sakral mengharuskan perempuan menutupi setiap bagian tubuhnya agar tidak tersentuh. Dunia sakral atau kesucian begitu mengagungkan ‘keperawanan', sebuah lambang moralitas perempuan lajang dalam memasuki perkawinan dan hanya dengan selaput tipis itu para suami mengukur dan menilai kejujuran sang istri. Adapun dunia profan telah mengadili tubuh perempuan sebagai godaan pembangkit birahi sekaligus kehinaan. Jika sebagian tubuhnya tersingkap akan mengundang syahwat bagi lelaki yang melihatnya. Dari payudaranya ia meracuni kesusilaan. Dari kedua pahanya dan selangkangannya ia membuat lelaki tergiur memperkosa. Dan dari tatapan mata serta bibirnya ia membuat jantung lelaki berdebar keras dan meninggalkan istri-istri mereka. Tetapi kemudian kehidupan telah memenjarakannya ke dalam dua dunia yang berbeda, dan celakanya keduanya sama-sama tidak menguntungkan. Jeratan profan dan sakral itu membuat tubuh perempuan tidak menjadi tubuhnya sendiri. karena semua disusun dan dirancang sedemikian rupa dalam dunia yang bukan miliknya, melainkan dunia milik lelaki. Budaya Patriarki Inul Daratista, sang penyanyi dangdut ngebor, banyak menimbulkan kehebohan pro dan kontra di masyarakat sehubungan gaya menyanyinya. Sebagai entertainer itu adalah haknya. Inul harus bisa menyajikan sesuatu yang dapat menghibur. Dia sama sekali tidak mencari sensasi berlebihan, kecuali menampilkan figurnya sebagai entertainer. Terlepas dari sosok mereka sebagai entertainer, semua itu mewakili gambaran kehidupan perempuan yang menjadi sosok penderita dan objek eksploitasi. Dalam hubungannya dengan kasus di atas, boleh dikatakan perempuan tidak punya otonomi atas dirinya sendiri, termasuk tubuhnya sendiri. Budaya Indonesia ada yang meminggirkan perempuan, yaitu budaya patriarki atau budaya bapak atau budaya laki-laki yang menjadikan perempuan sebagai warga kelas dua. Posisi perempuan yang rentan dan sudah dipinggirkan makin terpinggir sehingga kehilangan otonomi atas dirinya. Budaya, ideologi, norma, bukanlah turun dari langit, melainkan hasil ekspresi, karya, dan kreativitas manusia yang tersosialisasikan dari generasi ke generasi. Itulah warisan budaya yang secara bersamaan atau pada berikutnya melahirkan ketimpangan jender. Bertahun-tahun kaum feminis secara efektif menentang definisi laki-laki mengenai perempuan sebagai makhluk yang lemah dan tidak sejajar. Feminis percaya bahwa laki-laki sebagai penguasa peradaban, menjadikan perempuan sebagai objek yang menanggung semua kesalahan. Ketika laki-laki mengalami dorongan yang tidak disetujui oleh budaya atau agama (baca: kepada lawan jenis yang tidak di ikat oleh lembaga perkawinan), perempuan menjadi pihak yang disalahkan. Ketika laki-laki bernafsu karena melihat perempuan, maka tubuh perempuanlah yang bersalah bukan mata si laki-laki. Ketika laki-laki antri untuk membeli majalah-majalah dewasa, model perempuan (dalam majalah tersebut) yang bersalah bukan si pemilik majalah, pemberi ijin penerbitan majalah, ataupun laki-laki yang bernafsu membelinya. Laki-laki tidak pernah menjadi pihak yang disalahkan. Dorongan seksual laki-laki timbul karena godaan perempuan. Untuk menjaga kesucian hati laki-laki, perempuan harus dikekang dan dibatasi. Perempuan harus diatur sedemikian rupa sehingga tampilan mereka tidak lagi di anggap dapat melemahkan laki-laki. Justifikasi superioritas kaum lelaki memang dilakukan dari segala sisi sehingga bahkan skenario penciptaan Adam dan Hawa pun, urutan juga dimanfaatkan untuk mengukuhkan superioritas tersebut. Bahkan ada perspektif hirarkhis dalam skenario penciptaan Adam dan Hawa perlu dikaji ulang lagi, karena bisa saja sebenarnya - dalam interpretasi yang lain - urutan tersebut bermakna menegaskan persamaan antara kaum lelaki dan perempuan. Kekerasan terhadap perempuan bukan hal yang baru. Kekerasan terhadap perempuan terjadi pada produk masyarakat patriarki di mana kaum laki-laki mendominasi institusi sosial dan tubuh perempuan. Penganiayaan merupakan masalah kekuasaan, yang pada awalnya adalah untuk menunjukkan siapa yang lebih berkuasa, dan penunjukkan kekuasaan itu akhirnya berakibat pada kekerasan dalam bentuk pemukulan, penganiayaan, pemerkosaan, dan pembunuhan. Dalam hal ini adalah superioritas laki-laki yang menganggap perlakuan kasar terhadap perempuan merupakan hal yang biasa. Mengutip tulisan Kate Millet (seorang feminis Amerika) yang menyatakan bahwa terjadinyanya kekerasan terhadap perempuan pada sistem masyarakat patriarchal disebabkan distribusi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan timpang. bersambung...




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline