Lihat ke Halaman Asli

Srintil

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dilanjut deh... sambungan dari sini. Aku pun bertanya, "pernah ke lain hati ga..?" "pernah.." "kenapa..?" "cinta..." "trus..?" "ya diuber walaupun jauh..?" "kenapa..?" "wanita Jawa tulen ya begitu. Kalo udah cinta, lengketnya susah ilang..." "Katanya demi cinta rela memendam rasa. Emang ke suami ga cinta..?" Obrolannya malah belok setelah kelamaan nge-lag internetnya. Walau obrolan sudah berubah, tapi pikiranku masih berputar di pertanyaan yang tak terjawab itu. Kenapa awal yang bagus tentang perilaku perempuan Jawa harus dibelokan menjadi alat pembenaran atas atas sebuah penyimpangan? Dan aku malah ingat novelnya budayawan ngapak, Ahmad Tohari. Kisah tentang Srintil dalam Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) yang mengangkat alur historis masa lalu dari kehidupan masyarakat "berperadaban rendah". Berlatarkan kepolosan hidup manusia Jawa yang belum tercemar modernisasi. Bahkan belum tersentuh oleh ajaran agama dan hanya menganut aliran kejawen yang penuh kedamaian. Termasuk sikap permisifnya kaum perempuan dalam urusan seksual. Keperawanan bagi banyak perempuan merupakan hal suci yang hanya bisa dipersembahkan pada suami. Tetapi bagi kalangan tertentu seperti tokoh Srintil, keperawanan menjadi alat mewisuda status sebagai ronggeng. Kondisi tersebut diterima bukan hanya oleh laki-laki yang berkeinginan untuk menikmati keperawanan, tetapi juga menjadi alat bagi perempuan untuk menggapai kesenangan hidup glamour. Keperawanan bagi ronggeng dianggap milik umum yang bisa dipersembahkan pada saat bukak-klambu. Tak heran bila acara seperti ini dipentaskan secara terbuka. Bukak-klambu adalah semacam sayembara terbuka bagi laki-laki manapun. Yang disayembarakan adalah keperawanan calon ronggeng. Laki-laki yang dapat menyerahkan sejumlah uang yang ditentukan oleh dukun ronggeng berhak menikmati virginitas itu. Sehingga Srintil yang merasa dilahirkan untuk menjadi ronggeng, dia memvonis dirinya sebagai milik semua laki-laki (RDP-CBE, hal. 38-39). Kondisi yang diceritakan dalam novel ini mungkin akan dicemooh oleh kalangan masyarakat modern sebagai kebodohan budaya masa lalu. Tapi si pencemooh itu tak boleh lupa bahwa di masa kini, secara kontekstual, begitu permisif terhadap transaksi seks bebas. Latar belakang pendidikan juga tidak menjamin. Karena ada data dari kalangan LSM yang mengatakan 50% mahasiswi di Jokja sudah melakukan aktifitas seksual pranikah secara sadar dengan berbagai alasan. Karena keperawanan tidak dimaknai sebagai sesuatu yang sakral, maka sebagian perempuan kita rela secara sadar memberikan “hadiah keperawanan” kepada orang yang dicintainya, dengan pertimbangan dari pada direnggut oleh orang yang tidak diharapkannya. Srintil memberikan keperawanannya kepada Rasus sebagai bukti rasa cinta. Keperawanan Srintil diberikan kepada Rasus, sebelum Srintil dijamah oleh dua pembelinya yang sama sekali tidak ia kenal yang telah mau membeli dengan harga mahal. Walau Srintil sadar bahwa dirinya adalah komoditi dan milik setiap laki-laki yang punya uang, dia tetap manusia yang mengharapkan cinta. Demi cinta, pelayanan seksualnya tidak lagi bermotivasi materi seperti yang selalu ia lakukan dengan pembelinya (RDP-CBE, hal. 76) Seolah seks itu memiliki dua fungsi yang berlawanan. Satu sisi untuk meraih materi yang tak perlu cinta dan ketika itu sudah terpenuhi, dia akan menjamah sisi lainnya. Demi cinta dan kasih sayang setulus hati nuraninya. Masyarakat Dukuh Paruk begitu permisif dengan hal semacam ini. Free sex merupakan sesuatu yang dalam kondisi tertentu dianggap wajar oleh sebagian masyarakatnya, meskipun hanya ditujukan pada perempuan tertentu. Seperti ketika menonton Srintil menari, diceritakan percakapan perempuan-perempuan yang berdiri di tepi arena. Tentang siapa lelaki yang paling banyak memberikan uang yang berarti berhak menikmati keperawanan Srintil. “Suamiku tak bakal dikalahkan”, kata seorang perempuan “Tapi suamimu sudah pikun. Baru satu babak menari pinggangnya sudah kena encok”. “Aku yang lebih tahu tenaga suamiku, tahu?” “Tetapi jangan sombong dulu, aku bisa menjual kambing agar suamiku mempunyai cukup uang. Aku tetap yakin, suamiku akan menjadi lelaki yang pertama mencium Srintil”. “Tunggulah sampai saatnya tiba. Suami siapa yang bakal menang. Suamiku atau suamimu”. Demikian. Seorang ronggeng di lingkungan pentas tidak akan menjadi bahan percemburuan bagi perempuan Dukuh Paruk. Malah sebaliknya. Makin lama seorang suami bertayub dengan Ronggeng, makin bangga pula istrinya. Perempuan semacam itu puas karena bisa diketahui umum bahwa suaminya seorang lelaki jantan, baik dalam arti materi maupun birahinya (RDP-CBE, hal. 38-39). Dalam kenyataan saat ini pun, cukup banyak istri yang permisif terhadap perilaku seksual suaminya yang menyimpang. Mereka justru akan memberontak jika suaminya beristri lagi secara sah (poligami). Ketika penyimpangan itu diketahui pun, lebih banyak yang menyalahkan pihak perempuannya sebagai perebut suami orang daripada menyalahkan suaminya. Kebutuhan akan materi seringkali membuat mereka tidak begitu peduli selama tidak menceraikannya. Seolah yang dipikirkan adalah, "biarin deh isinya berceceran, yang penting botolnya kembali utuh.." bersambung lagi ah, laper.... nyambung kesini ya..




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline