Lihat ke Halaman Asli

Vampir sebagai Produk Budaya, Seni, dan Sastra

Diperbarui: 26 November 2017   00:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam berbagai karya seni dan sastra modern, vampir kerap dijadikan sebagai tema utama dari sebuah fiksi populer. Hal ini bukan hanya ada pada zaman sekarang. Sejak dulu sastrawan-sastrawan terkenal pada masanya sudah mempopulerkan cerita tentang makhluk penghisap darah ini, mulai dari puisi, cerita pendek, novel hingga drama. Sebut saja John Polidori dengan The Vampyre (1891), Varney the Vampir (1847) dan Bram Stoker dengan Dracula (1897). Novel Bram Stoker inilah yang akhirnya menjadi puncak dari cerita vampir modern dan disebut-sebut sebagai novel vampir terbaik sepanjang masa.

Novel Dracula karangan Bram Stoker itupun telah berkali-kali diangkat ke layar lebar, seperti Dracula (1931), Count Dracula (1970), Dracula (1992), dan masih banyak lagi.  Hal ini menunjukkan bahwa pesona vampir memang tidak pernah pudar sekalipun ia digambarkan sebagai makhluk kejam yang menghisap darah manusia. Dan dewasa ini penggambaran vampir yang kejam dan menakutkan perlahan berubah menjadi sosok yang mengagumkan dan dipuja banyak orang.

Sejak dulu, vampir digambarkan berbeda-beda seiring berjalannya waktu. Pada abad ke-19, vampir digambarkan memiliki gigi taring dan takut terhadap sinar matahari yang ditampilkan lewat tokoh Varney, Count Dracula, dan Nosferatu. Pada tahun 1920-an, karakter vampir dalam drama-drama mulai mengenakan jubah dengan kerah tinggi. Penggunaan jubah ini diperkenalkan oleh dramawan Hamilton Deane agar memudahkan tokoh Count Dracula menghilang di panggung. Sementara itu, vampir juga memiliki kemampuan untuk menyembukan dirinya dengan menggunakan sinar bulan lewat karakter Lord Ruthven dan Varney.

Meskipun vampir digambarkan berbeda dari masa ke masa, namun ada satu hal yang membuat semua karakter vampir menjadi sama, yaitu keabadian. Dalam setiap karya populer baik itu novel ataupun film, keabadian merupakan ciri khas vampir yang paling ditonjolkan. Itulah sebabnya mengapa vampir harus selalu meminum darah. Karena mereka yakin bahwa keabadian akan diperoleh dengan menghisap darah.

Kisah vampir sendiri diyakini berasal dari Rumania. Adalah Pangeran Vlad Tepesia Draculea yang berkuasa di Wallachia pada abad ke 15 dikenal kejam dalam memberikan hukuman pada musuhnya. Ia terkenal dengan julukan Vlad the Impaler karena suka menyula musuh-musuhnya. Tidak hanya itu, konon katanya ia juga gemar meminum darah musuhnya. Hal inilah yang kemudian menginspirasi Bram Stoker untuk membuat tokoh Count Dracula berdasarkan tabiat dari Sang Pangeran Wallachia. Kabarnya, ia menghabiskan waktu selama 7 tahun untuk mengerjakan novel Dracula tersebut.

Cerita tentang Count Dracula ini memang merupakan yang paling terkenal sekaligus paling berpengaruh. Bagaimana tidak, dalam karakter Dracula sendiri digambarkan mengenai bagaimana setan bisa berkuasa melalui rasa hausnya terhadap sex dan darah sehingga kematian dan teror adalah hal yang biasa. Dengan latar masa Victoria, ciri-ciri vampir seperti itu menjadi terasa sangat tradisional.

Seiring berjalannya waktu, karakter vampir yang takut pada bawang putih mulai ditinggalkan. Vampir ilmiah mulai bermunculan seperti I Am Legend (1954) dan The Omega Man (1971). Pada abad ke-20, ada banyak sekali fiksi vampir yang bermunculan, seperti Seri The Vampir Huntress Legend oleh L.A Banks, dan Seri The Hollows Kim Harrison. Menariknya, kisah-kisah seperti ini justru sangat populer dan digemari para remaja. Kisah-kisah vampir modern ini menampilkan romansa, cerita detektif, dan okltisme. Bahkan beberapa kisah justru tidak ada hubungannya dengan sifat vampir asli.

 Yang paling populer dalam beberapa tahun terakhir ini adalah novel Twilight karya Stephanie Meyer. Makhluk penghisap darah yang awalnya digambarkan takut pada bawang putih, salib, dan cahaya matahari, justru berubah menjadi sosok mengagumkan. Vampir di sini justru tidak terbakar saat terkena sinar matahari melainkan tubuh mereka berkilau dengan indah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline