Lihat ke Halaman Asli

Dr. Ravinjay Kuckreja

Dosen dan Filsuf

Siluman dalam Film Exhuma: Jin Beragama Hindu dan Buddha?

Diperbarui: 17 Maret 2024   12:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Barangkali baru aja yang baru tonton film Korea "Exhuma" (2024) yang ditulis dan disutradarai Jang Jae-hyun. Di film tersebut, dan banyak film-film horor sejenis, tokoh siluman, jin atau hantu selalu diberikan sesajen berupa bunga, dupa dan hindangan lainnya. Ini sangat mirip dengan sesajen yang terdapat dalam agama-agama Buddha dan Hindu.

Selain itu, siluman Jepang dalam film Korea Exhuma dapat melantunkan sutra-sutra Buddhis, menghormati vihara, dan bahkan mengaku telah mempelajari doa-doa Buddhis selama 500 tahun. Bahkan, ia muncul dalam beberapa adegan film dengan pakaian biksu dan melantunkan mantra Buddha Zen.

Buddhisme Zen berasal dari Buddhisme Chan, sebuah aliran populer dalam Buddha Mahayana. Awalnya dikenal sebagai Buddhisme Dhyana, mazhab Buddhisme ini berfokus pada meditasi dan pelafalan Sutra Mahayana untuk menenangkan pikiran. Di Jepang, agama Buddha bertemu dengan kepercayaan asli Shinto. Di Jepang saat ini, Anda dapat menemukan kesamaan antara dewa-dewa Hindu dan Buddha, bercampur dengan makhluk halus "kami".

Di mana pun agama Hindu dan Buddha menyebar, termasuk ke Jawa dan Bali, agama ini berhasil menarik banyak pengikut dengan tidak mengganggu sistem kepercayaan pribumi atau setempat. Sebaliknya, mereka justru mendukung, melindungi, dan mempelajarinya. Ketika agama ini bertemu dengan roh leluhur atau roh pelindung, mereka akan mengidentifikasikannya dengan dewa-dewa Hindu/Buddha. Dalam agama Buddha, mereka akan dijadikan Bodhisatwa, dan dalam agama Hindu menjadi dewa/dewi atau mengasosiasikannya dengan dewa yang populer seperti Dewa Siwa.

Ketika Hindu dan Buddha bertemu dengan entitas yang lebih rendah (bhuta kala) seperti jin, siluman, atau makhluk halus sejenisnya, mereka akan dikonversi ke dalam agama untuk menjinakkannya. Hal ini juga terjadi pada agama Islam, terutama di Indonesia, di mana makhluk halus biasanya mengenal bacaan-bacaan Al-Quran, dan dalam beberapa kasus, bahkan hafal surah-surahnya. Namun, dalam kepercayaan Hindu dan Buddha, roh-roh ini tidak dianggap jahat, melainkan sebagai bagian dari alam.

Yaksa (atau Yaksini jika feminin) adalah roh pelindung alam di dunia sekitar kita. Dalam bentuknya yang ganas, mereka juga disebut Raksasa (yang berarti 'monster' dalam bahasa Sansekerta aslinya, dan bukan 'raksasa' seperti yang sekarang diartikan dalam bahasa Indonesia). Makhluk-makhluk tersebut dianggap sebagai spesies tersendiri, dan dengan demikian diberikan perlindungan dan dihormati oleh umat Hindu, Budha, Tao, dan agama-agama Timur lainnya. Mereka tidak dilihat sebagai hantu manusia atau roh orang yang telah meninggal. Mereka adalah sosok jiwa yang hidup yang telah mendapatkan tubuh yang tidak menguntungkan hingga membatasi mereka. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh umat Hindu dan Buddha dengan " menobatkan" mereka bukanlah untuk menghancurkan mereka, melainkan untuk membantu mereka mengumpulkan karma baik sehingga mereka dapat terlahir kembali sebagai manusia di kehidupan selanjutnya dan dapat berlatih mengendalikan diri untuk mencapai pembebasan.

Umat Hindu dan Buddha tidak menyembah mereka, tetapi berdoa UNTUK mereka. Sesajen dipersembahkan sebagai bentuk penghormatan, seperti halnya kita memberi makanan pada hewan seperti ikan di danau atau burung di langit. Mereka adalah bagian dari alam dan dengan demikian dilestarikan, bukan diberi makan sebagai imbalan atas kekuatan atau perlindungan. Dasar dari tindakan tersebut adalah welas asih. Manusia berada di tengah-tengah alam dan ekosistemnya yang kompleks yang terdiri dari makhluk, elemen, dan energi. Tugas atau dharma kita adalah untuk menunjukkan belas kasih dan kepedulian.

Dalam beberapa kasus, roh-roh tersebut juga ditundukkan dengan agama Hindu dan Buddha untuk membangun pasraman atau wihara. Di Bali, misalnya, orang suci legendaris bernama Markendeya menanam logam mulia dan persembahan di kaki Gunung Agung sebelum membangun Pura Besakih. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan izin karena upaya lain sebelumnya untuk membangun pertapaan gagal total. Guru Rinpoche atau Padmasambhava juga mengalami kesulitan dalam membangun tempat peribadatan di Tibet, dan baru bisa melakukannya setelah menjinakkan makhluk halus setempat. Sekarang, Gyalpo Pehar adalah pelindung wihara-wihara Buddha Tibet beserta ajaran dhamma.

Penaklukan entitas-entitas ini meningkatkan pengakuan terhadap kepercayaan Buddha, Hindu, dan kemudian Islam. Makhluk-makhluk yang sebelumnya sangat ditakuti oleh penduduk setempat, setelah berpindah agama, lebih terjaga dengan adanya pemberian sesajen secara rutin. Agama-agama pendatang seperti Hindu dan Buddha juga mendapatkan lebih banyak pengikut dari warga setempat karena mereka mampu menjinakkan roh-roh jahat setempat. Pada akhirnya, agama-agama, terutama para pemimpin agama, berupaya mencari cara untuk memperluas pengaruh dan dominasi mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline