Tragedi kanjuruhan 2 hari yang lalu masih menyisakan duka bagi masyarakat Indonesia pasalnya tragedi tersebut merenggut 187 nyawa manusia. Bahkan beritanya sudah menyebar seantero dunia dan disebarkan beritanya oleh media-media international karna memang tragedi Kanjuruhan adalah tragedi yang memakan korban terbanyak kedua dalam tragedi sepakbola global
Beberapa club sepakbola dunia menyampaikan dukanya atas tragedi yang terjadi di Indonesia. Sebagai contoh Derby Manchester yang mempertemukan Manchester City dan Manchester United menggunakan pita hitam saat bertanding sebagai tanda bela sungkawa.
Tak mau ketinggalan juga di kompetisi la liga pertandingan yang mempertemukan Osasuna dan Real Madrid juga diawali dengan hening cipta dan juga refleksi bela sungkawa lainnya
Banyaknya memakan korban dalam tragedi Kanjuruhan membuat banyak pihak mencarikan kambing hitam. Ada yang meyalahkan suporter ada pula yang menyalahkan aparat keamanan. Namun yang mejadi pertanyaaan siapa sih sebenarnya yang layak untuk disalahkan?
Dalam satu malam merenggut ratusan korban. Ada yang istrinya menjadi janda, anaknya menjadi yatim dan kehilangan sanak keluarga lainnya
Apakah banyak korban dari kerusuhan di Kanjuruhan ini sebuah pertanda kalau penanganan anarkisme sepakbola di negeri kita ini masih sangat amat amatiran?
Melihat fakta di lapangan yang seharusnya penanganan bisa dilakukan dengan lebih damai dan aman. Akan tetapi para petugas keamanan malah membuat keputusan yang diluar dugaan yakni dengan menembakkan gas air mata yang malah menurut aturan FIFA ini merupakan tindakan yang terlarang dan melanggar kewenangan
Lebih-lebih ketika gas air mata tersebut bukan sebatas ditembakkan kearah oknum suporter yang memicu kerusuhan di lapangan tapi juga kearah penonton yang berada di tribun yang hanya sebatas diam tanpa membuat kerusuhan.
Tidak adil memang ketika ulah segelintir orang malah memangsa banyak korban yang sama sekali tidak berdosa. Bahkan di tribun tersebut diketahui juga ada anak-anak dan para wanita yang memiliki fisik yang lemah dibandingkan kaum pria.
Pernyataan ini bukan berarti melegalkan kekerasan kepada kaum pria, hanya saja anak-anak dan kaum wanita secara kodrat itu makhluk yang lemah dan butuh perhatian lebih