Almarhumah nenek pernah berkisah bahwa dulu di Buton pernah dibuat semacam larangan agar orang Buton tidak boleh mengkonsumsi ikan. Setiap waktu tertentu akan diadakan pemeriksaan langsung ke periuk masakan orang Buton di dapur rumah masing-masing penduduk, bila dalam pemeriksaan tersebut ditemukan ikan maka akan disita dan dijadikan santapan orang Belanda, selebihnya menjadi makanan orang Buton.
Neneku bercerita bahwa orang Buton tidak sebodoh yang orang Belanda kira, mereka memasak ikan dengan cara bersusun di dalam sebuah periuk, di mana ikan diletakan di dasar periuk berikut hidangan lainnya seperti sayur atau ubi ataupun jagung di atasnya, sehingga ketika makanan yang dimasak sudah matang dan kemudian ada pemeriksaan dari Belanda maka yang tampak secara visual dari permukaan periku hanyalah hidangan selain non ikan, yang tanpa Belanda ketahui ikan tersebut akan dikonsumsi selepas razia dilaksanakan.
Orang Buton tidak sepolos yang dikira Belanda, tidak selinear yang diperkirakan saat pemeriksaan, sebagai bagian dari entitas sosial pada umumnya yang akan selalu mencari jalan keluar bila mendapat masalah, orang Buton berupaya keluar dari getir krisis keadilan akan kondisi yang menimpa masyarakat Buton pada masa dominasi Belanda di Buton masa lampau.
Orang Buton pada konteks tersebut terlihat turut di dalam tekanan, tetapi tetap mempertahankan eksistensinya sebagai manusia yang berakal dan mempergunakannya menyelesaikan tantangan zaman, mempersilahkan pihak memenangkan perlawanan tetapi di sisi yang lain tidak membuat diri orang Buton berada pada pihak yang kalah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H