Di zaman sekarang siapa sih yang nggak punya media sosial? Mulai dari zaman Friendster dan Myspace lalu beralih ke Facebook, Snapchat, Instagram hingga saat ini sampai ke Tiktok.
Semua orang pasti berlomba-lomba untuk ngebuat akun dari hampir seluruh platform media sosial tersebut. Kenapa?
Alasannya adalah supaya bisa tetep ngikutin perkembangan jaman. Setiap orang akan dianggap lebih gaul dan lebih kekinian apabila mereka "mutualan" di media sosial. Mereka akan merasa lebih dibandingkan yang lain kalo punya followers yang banyak dan juga dapetin like yang banyak.
Kalian sadar nggak sih kalau di zaman ini hidup itu terasa lebih kompetitif? Itu semua karena adanya media sosial. Kita bisa ngeliat pencapaian orang lain atau setidaknya apa yang mereka tunjukin di profilnya. Hal itu ngebuat kita selalu merasa kurang dengan pencapaian kita sendiri. Di umur yang sama, kita bisa lihat orang lain udah punya ini, punya itu, udah jadi ini, jadi itu. Padahal sebetulnya, hal-hal seperti pencapaian dan teman-temannya tidak bisa di sama ratakan. Orang yang belum lulus kuliah di umur 22 tahun, bukan berarti orang yang sukses. Begitupun sebaliknya, orang dengan predikat cumlaude juga tidak menjamin bahwasannya kedepannya jalannya akan selalu mulus.
Media sosial secara nggak langsung ngebuat kita jadi berlomba-lomba dalam hidup. Kita selalu merasa dikejar akan sesuatu, padahal hal itu hanya ada di pikiran kita. Yang awalnya kita senang menggunakan media sosial sebagai platform yang menghibur dan berbagi pesan, menjadi sebuah platform dimana banyaknya terjadi kepalsuan. Gak jarang orang-orang memalsukan kehidupannya hanya untuk diunggah di media sosial. Mereka rela melakukan usaha yang lebih hanya untuk 'menyenangkan' para pengikutnya. Adapula yang rela melakukan hal-hal konyol hanya untuk dikenal lebih jauh di internet, atau lebih sering kita denger dengan sebutan viral. Mereka sudah tidak memikirkan mana yang benar dan salah, yang penting mereka menjadi perbincangan oleh warganet.
Media sosial memang di desain untuk berkomunikasi secara dua arah, tetapi banyak yang salah menggunakan fitur tersebut. Fitur komentar dan pesan yang bisa kita kirimkan langsung kepada pemilik profil, kerap digunakan untuk mengatakan hal-hal yang kurang baik dan menyakiti perasaan orang lain. Ujaran-ujaran kebencian bertebaran dimana-mana, begitu pula dengan ujaran kebohongan atau yang sering kita dengan dengan kata hoax. Berita yang berseliweran di internet menjadi sangat sulit untuk diketahui kebenarannya karena sudah diteruskan berkali-kali oleh warganet. Tak jarang orang sengaja menyebarkan berita bohong untuk menjatuhkan suatu pihak atau hanya untuk menjadi viral.
Menurut WHO, anak muda alias generasi millenial lebih rentan terkena gangguan kesehatan mental. Ditambah lagi dengan adanya media sosial. Banyak remaja merasa terdesak dengan tuntutan sosial dikarenakan teman-teman sebayanya memperlihatkan banyak keberuntungan dalam hidupnya. Mereka merasa depresi dikarenakan belum mencapai apa yang orang lain capai. Belum lagi ujaran-ujaran kebencian juga kerap terjadi di media sosial yang disebut dengan cyber-bullying. Tak jarang ujaran kebencian tersebut dikarenakan sebuah hal sepele, tetapi memiliki dampak yang cukup besar. Tekanan dari berbagai pihak yang membandingkan anak tersebut dengan orang lain juga membuat mereka rentan mengalami depresi.
Salah nggak sih aktif di media sosial?
Tentu saja enggak dong. Kembali lagi gimana kita bisa memanfaatkan media sosial tersebut buat jadi hal yang positif di hidup kita. Banyak juga kok hal-hal positif yang bisa kita dapet dari media sosial. Dari mulai dapetin ilmu pengetahuan, dapetin sertifikasi keahlian, membuat konten yang menarik dan mendidik dan masih banyak lagi. Kita bahkan bisa mendapatkan pendapatan dari media sosial. Kita harus pintar-pintar memanfaatkan media sosial dan juga bijak dalam menggunakannya.
Setiap orang memiliki persepsi masing-masing dalam menanggapi media sosial. Ada yang menggunakan media sosial karena kemudahannya dalam berkomunikasi, ada yang menggunakan media sosial untuk berbagi informasi, ada yang menggunakan media sosial untuk bekerja, tetapi adapula yang menjadikan media sosial sebagai adiksi. Itulah persepsi yang salah tetapi kerap ditemui. Orang-orang terlalu sibuk hidup di media sosial sampai-sampai melupakan kehidupan nyatanya. Hal yang fiksi berubah menjadi adiksi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H