CANDI BOROBUDUR: MENYUSURI SAKSI BISU SEJARAH TANAH JAWA
Candi Borobudur. Mendengar namanya saja sudah cukup menggerakan hati saya untuk pergi ke tempat ini. Sejak bertahun-tahun lamanya, Borobudur tidak pernah berhenti membuat saya tertarik. Ketertarikan saya terhadap Candi Borobudur terbentuk berkat kemasyhurannya sebagai candi bercorak agama Buddha terbesar di dunia yang kini telah diakui oleh UNESCO dalam World Heritage List (WHL). Borobudur adalah mahakarya kejeniusan kreatif manusia.
Situs ini menjadi ikon dan tujuan utama wisata religi bagi turis-turis lokal maupun mancanegara. Tidak heran jika Borobudur setiap tahunnya dijadikan pusat perayaan Waisak oleh umat Buddha di Indonesia.
Candi Borobudur secara administratif terletak di Jalan Badrawati, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Butuh waktu hampir satu jam untuk saya sampai ke tempat ini. Sesampainya di lahan parkir Taman Wisata Candi Borobudur, turis dari berbagai daerah sudah ramai berlalu lalang. Beberapa di antaranya adalah turis mancanegara. Ada yang baru datang, ada juga yang mungkin sudah selesai melakukan kunjungan.
Di area luas yang letaknya tepat sebelum gerbang masuk candi, saya mendapati banyaknya pedagang-pedagang lokal yang menjual dan menyewakan berbagai perlengkapan wisatawan. Mereka sibuk menjual makanan dan minuman. Beberapa dari mereka menjual atau menyewakan payung, stroller untuk anak, kacamata, hingga topi. Penyewaan payung dibandrol dengan harga sepuluh ribu rupiah, sementara stroller anak dibandrol dengan harga lima puluh ribu rupiah.
Karena dirasa matahari cukup terik, saya memutuskan untuk menyewa satu buah payung. Konsep perdagangan dan penyewaan ini saya rasa sangat bermanfaat bagi kedua belah pihak. Pedagang mendapatkan manfaat ekonomi dari hasil penjualan atau penyewaan, sementara para turis mendapatkan kenyamanan selama mengunjungi situs Candi Borobudur.
Kunjungan wisata bisa dilakukan di jam operasional yang telah ditentukan. Untuk berkunjung ke pelataran candi, turis diperkenankan untuk datang pada pukul 06.30 -- 16.30 WIB. Sementara itu, untuk naik ke bagian atas candi, hanya bisa dilakukan pada pukul 08.00 -- 16.00 WIB.
Pembelian tiket masuk ke pelataran candi ataupun naik candi dilakukan secara online di situs web ticketcandi.borobudurpark.com. Harga tiket untuk turis lokal dan mancanegara tentunya berbeda. Khusus untuk naik candi, kunjungan terbagi menjadi 8 sesi di mana setiap sesinya memiliki kuota sebanyak 150 orang. Kuota naik candi setiap harinya hanya 1.200 orang saja.
Di pintu masuk, semua turis diperiksa barang bawaannya. E-ticket ditukar di loket dengan gelang tiket, nomor guide, dan voucher yang nantinya ditukar dengan upanat dan minuman botol. Upanat adalah sandal yang digunakan untuk naik ke candi. Turis dapat memilih ukuran upanat yang diinginkan dari ukuran 4 sampai 50. Aturan pemakaian upanat ini dibuat sejak tahun 2023 karena alasan pelestarian.
Satu kelompok dipandu oleh satu pemandu (tour guide). Pemandu ini yang akan mengarahkan alur kunjungan dan menjelaskan sejarah-sejarah singkat dari Candi Borobudur. Kami diminta untuk tetap bersama-sama selama kunjungan, tidak memanjat dinding-dinding candi, merogoh arca di dalam stupa, merusak, mencoret-coret, ataupun membawa makanan. Pemandu kami menjelaskan bahwa struktur candi secara teknis memiliki 10 lantai dan kita perlu menaiki 140 anak tangga untuk bisa sampai ke puncaknya.
Dari kejauhan, saya terkagum dengan candi yang tampak megah berdiri di antara pelataran yang hijau dan asri. Taman di sekeliling candi ternyata sangat luas. Kami berjalan cukup jauh untuk sampai ke tangga candi bagian Timur. Bagi saya pribadi, lelah ini sangat sebanding dengan keindahan yang disuguhkan.
Tangga candi lumayan curam dan akan sangat melelahkan bagi turis-turis lansia. Dinding di setiap lantai candi diisi oleh relief atau ukiran yang syarat akan kehidupan Buddha di masa itu. Katanya, candi ini dibangun pada abad ke-8 di masa Dinasti Syailendra. Sampai saat ini belum ada kepastian bagaimana candi ini bisa terbentuk.