Ketika kalender mulai menghitung mundur menuju akhir tahun, ada satu pertanyaan yang kerap menghantui: bagaimana memanfaatkan waktu ini? Apakah kita harus bekerja lebih keras untuk menutup tahun dengan pencapaian gemilang, atau justru melambat dan meresapi setiap detik untuk menyegarkan jiwa? Pilihan ini ibarat dua sisi koin yang masing-masing menawarkan makna
Liburan akhir tahun selalu punya daya tarik sendiri. Sebagian orang memanfaatkannya untuk bersantai, sementara sebagian lainnya justru memanfaatkan momen ini untuk bekerja. Pilihan itu sering kali bergantung pada kebutuhan, target, atau bahkan mood yang dirasakan saat itu. Tapi, apakah kita harus bekerja atau bersantai? Pilihan itu tak pernah mudah.
Ketika liburan tiba, sering ada godaan untuk tetap bekerja. Apalagi jika pekerjaan yang dikerjakan belum selesai. Rasanya seperti dikejar-kejar waktu. Deadline yang seakan tidak memberi ampun. Dalam situasi seperti ini, memilih untuk tetap bekerja mungkin adalah keputusan yang masuk akal. Selesaikan dulu, baru pikirkan soal liburan. Bekerja itu seperti melawan arus sungai, selalu ada daya tarik untuk menunda, tapi di situlah kekuatan tekad diuji.
Tapi ada juga yang memilih bekerja karena merasa itu momen paling produktif. Suasana kantor yang biasanya ramai menjadi lebih sunyi. Tidak ada telepon atau meeting yang mengganggu. Bisa bekerja lebih fokus tanpa distraksi. Terkadang, produktivitas memang datang saat suasana sekitar mendukung, seperti liburan ini. Pikiran bekerja saat liburan itu serupa pelari maraton yang tak ingin berhenti sebelum garis akhir terlihat.
Namun, bekerja saat liburan juga punya sisi lain. Ada yang bekerja bukan karena ingin, tapi karena kebutuhan. Banyak yang memanfaatkan liburan untuk mengambil pekerjaan tambahan. Alasannya simpel: uang. Momentum akhir tahun sering menjadi kesempatan untuk mengisi pundi-pundi. Siapa tahu, ada kebutuhan mendesak di awal tahun baru. Keputusan ini tak jarang berbalut rasa tanggung jawab, seperti nelayan yang tetap melaut meski ombak sedang tinggi.
Di sisi lain, ada juga yang memilih untuk bersantai. Akhir tahun adalah waktu yang ditunggu-tunggu setelah sibuk sepanjang tahun. Istirahat jadi kebutuhan yang tak bisa ditunda lagi. Tubuh dan pikiran butuh diisi ulang. Seperti ponsel yang baterainya sudah hampir habis. Kalau tidak diisi, kita bisa kehabisan energi. Santai adalah jeda yang membuat manusia tetap merasa hidup.
Mengisi ulang energi juga bukan hanya soal tidur atau bermalas-malasan. Banyak cara untuk melakukannya. Ada yang memilih untuk pergi ke tempat-tempat baru. Alam terbuka sering jadi pilihan. Gunung, pantai, atau hutan. Tempat-tempat itu menawarkan ketenangan yang tak bisa ditemukan di kota. Sesuatu yang membuat pikiran jadi lebih segar. Seperti ikan yang kembali ke air tawar setelah lama di laut.
Tapi santai bukan cuma soal jalan-jalan. Waktu bersama keluarga juga penting. Momen akhir tahun sering kali menjadi satu-satunya waktu untuk berkumpul. Apalagi bagi mereka yang sibuk bekerja sepanjang tahun. Anak-anak, pasangan, atau orang tua sering jadi korban dari kesibukan itu. Akhir tahun adalah waktu untuk menebusnya. Kehangatan keluarga itu seperti api unggun di malam yang dingin, sederhana tapi tak tergantikan.
Menyisihkan waktu untuk keluarga adalah investasi. Hubungan yang kuat tak dibangun dalam sehari. Butuh perhatian dan waktu. Sebuah liburan bersama sering kali lebih bermakna daripada hadiah termahal sekalipun. Kebersamaan yang hangat tak bisa dibeli dengan uang. Dan setiap momen bersama adalah lembaran kenangan yang akan terus dikenang, jauh setelah waktu berlalu.
Namun, liburan akhir tahun juga bisa menjadi momen refleksi. Seperti sebuah jeda untuk melihat kembali apa yang sudah dicapai. Setahun penuh sering terasa begitu cepat berlalu. Apa saja yang sudah dilakukan? Apa yang belum tercapai? Pertanyaan-pertanyaan itu sering muncul di akhir tahun. Refleksi adalah cermin, dan liburan adalah waktu untuk menghadapinya dengan jujur.