China, raksasa ekonomi yang pernah melaju tanpa henti, kini menghadapi masa-masa sulit. Angka-angka pertumbuhan yang dulu membanggakan, 10 persen pada tahun 2010, telah melandai menjadi 4,8 persen pada 2023. Bahkan, proyeksi ke depan lebih suram: hanya 2 persen pada 2040. Negara yang menjadi mesin penggerak ekonomi global ini seperti kehilangan daya dorongnya. Apa yang salah? Apa dampaknya bagi dunia, termasuk Indonesia?
Salah satu persoalan terbesar adalah pengangguran yang tinggi, terutama di kalangan muda. Tingkat pengangguran di kelompok usia produktif kini melebihi 20 persen, suatu angka yang mengejutkan. Pandemi COVID-19 yang menghantam habis-habisan perekonomian global, meninggalkan luka yang lebih dalam di China. Pemulihan yang diharapkan ternyata berjalan lambat, seperti mobil mewah yang kehilangan bahan bakar.
Di sisi lain, China menghadapi tantangan demografi yang mengkhawatirkan. Populasi negara ini menua dengan cepat, sebuah warisan dari kebijakan "One Child Policy" yang pernah dianggap brilian tetapi kini menjadi bom waktu. Generasi muda yang seharusnya menjadi tumpuan, justru terjebak dalam tekanan ekonomi yang berat. Banyak dari mereka memilih menyerah, lahirnya fenomena tang ping---generasi rebahan yang enggan mengejar karier atau ambisi. Sebuah ironi di negara yang dahulu mengajarkan etos kerja keras sebagai nilai utama.
Proyek properti yang mangkrak adalah cerminan lain dari krisis ini. Gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi di kota-kota besar kini banyak yang kosong melompong. Infrastruktur megah, yang dulunya simbol kebanggaan nasional, berubah menjadi monumen kegagalan. Di sinilah kesalahan besar dari strategi pembangunan yang tidak memperhitungkan perubahan dinamika ekonomi.
Namun, satu hal yang tetap tangguh dari China adalah dominasinya di pasar ekspor. Negara ini terus membanjiri dunia dengan barang-barang murah, memanfaatkan kapasitas produksi yang luar biasa besar. Sementara itu, impor China semakin menurun, menciptakan surplus ekonomi yang makin mencolok. Ini menjadi kabar buruk bagi negara-negara produsen komoditas seperti Indonesia. Harga komoditas global, seperti batu bara, ditekan sedemikian rupa oleh dominasi China.
Bagi ASEAN, dominasi China adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, China adalah mitra dagang terbesar kawasan ini, menyerap 60 persen ekspor ASEAN. Di sisi lain, produk-produk murah dari China mengancam keberlangsungan industri lokal di banyak negara ASEAN, termasuk Indonesia. Keberlanjutan hubungan ekonomi ini menjadi tanda tanya besar: seberapa besar ketergantungan ini akan membawa manfaat, atau justru membahayakan?
Ironisnya, dominasi China di luar negeri juga mulai menunjukkan keretakan. Banyak proyek infrastruktur ambisius yang didanai China di negara-negara berkembang kini terbengkalai. Sri Lanka, misalnya, menjadi salah satu contoh paling tragis dari jebakan utang. Proyek besar lainnya di Malaysia dan Afrika juga menghadapi nasib serupa. Ambisi China untuk menjadi pemain utama dalam infrastruktur global mulai menemui batas.
Perubahan strategi global juga memberikan tekanan baru bagi China. Banyak perusahaan multinasional yang sebelumnya mendirikan pabrik di sana mulai merelokasi produksi ke negara-negara seperti India, Vietnam, dan Indonesia. Langkah ini tidak hanya dipicu oleh kenaikan biaya di China tetapi juga oleh tekanan dari Barat yang mulai menerapkan tarif tinggi pada barang-barang China. Dunia sedang mencoba mengurangi ketergantungan pada raksasa ekonomi ini.
Tantangan geopolitik semakin memperumit keadaan. Ketergantungan ASEAN pada China menjadikan negara-negara di kawasan ini rentan terhadap dampak ekonomi maupun politik dari gejolak yang terjadi di Beijing. Namun, ASEAN juga tidak memiliki banyak pilihan. China adalah mitra dagang utama, tetapi di saat yang sama, keberlanjutan hubungan ini penuh ketidakpastian.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Negeri ini tentu tidak kebal dari dampak turbulensi ekonomi China. Sebagai salah satu eksportir utama komoditas seperti batu bara dan kelapa sawit, Indonesia harus bersiap menghadapi kemungkinan penurunan harga yang lebih tajam. Namun, ada peluang di balik tantangan ini. Relokasi perusahaan dari China dapat menjadi kesempatan besar bagi Indonesia untuk memperkuat sektor manufaktur dan menarik investasi baru.
Diversifikasi ekonomi adalah kunci. Indonesia tidak bisa terus mengandalkan ekspor komoditas sebagai tulang punggung ekonominya. Mengembangkan sektor teknologi, manufaktur, dan jasa harus menjadi prioritas utama. Selain itu, penguatan pasar domestik melalui peningkatan daya beli masyarakat adalah langkah penting lainnya. Ketika pasar global bergolak, pasar domestik yang kuat dapat menjadi jangkar stabilitas.