Lihat ke Halaman Asli

Tentang 1%

Diperbarui: 23 November 2024   23:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Kompas.com

Bayangkan Anda sedang menikmati secangkir kopi di pagi hari, ditemani koran yang memberitakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai Januari 2025. Sekilas, kenaikan 1% ini tampak sepele. Namun, apakah benar dampaknya sesederhana itu?

Kenaikan tarif PPN tidak berdiri sendiri. Efeknya lebih besar dari sekadar "naik 1%". Di atas kertas, angka 1% tampak kecil, bahkan seolah remeh. Namun, di lapangan, realitas berkata lain. Kenaikan ini membawa gelombang dampak yang jauh lebih besar.

Mari kita bicara sederhana. Jika tarif PPN naik 1%, harga barang dan jasa di tangan konsumen bisa ikut naik hingga 30%. Bagaimana ini mungkin? Variabelnya banyak. Mulai dari kenaikan harga bahan baku yang terkena PPN, inflasi, hingga upah tenaga kerja yang pasti akan mengikuti. Belum lagi tambahan biaya logistik dan pengiriman yang makin melambung.

Dan ini bukan hanya teori. Ini sudah jadi pola. Ketika tarif naik, pasar tidak pernah bertindak linier. Setiap rantai dalam ekosistem ekonomi memiliki respon sendiri-sendiri. Efeknya berlapis-lapis. Dari pabrik hingga pasar. Dari pasar hingga dapur rumah tangga.

Lalu ada argumen klasik yang sering kita dengar: "Nanti kan uang ini kembali ke rakyat dalam bentuk bansos dan subsidi." Kalimat ini terdengar manis. Tapi apakah benar seperti itu?

Berdasarkan Nota Keuangan RAPBN 2025, alokasi belanja bansos hanya Rp152,6 triliun. Bandingkan itu dengan belanja pegawai yang mencapai Rp513,2 triliun. Tentu ini angka yang tidak seimbang. Jadi, bagaimana rakyat bisa merasakan dampak bansos secara signifikan jika porsinya sekecil itu dibanding pos lain?

Kritik terbesar dari kebijakan ini bukan pada niatnya, tapi pada caranya. Saat pemerintah menaikkan tarif, ada harapan besar bahwa kenaikan ini akan membantu memperbaiki struktur anggaran. Namun, yang sering terjadi adalah alokasi dana tidak tepat sasaran.

Bayangkan ini. Anda adalah seorang pedagang kecil yang setiap hari bergantung pada perputaran modal untuk bertahan. Dengan kenaikan PPN, semua biaya naik. Anda tidak punya pilihan selain menaikkan harga barang dagangan. Apa yang terjadi? Pelanggan mulai berkurang. Perputaran uang melambat. Pada akhirnya, Anda yang harus menanggung bebannya sendiri.

Tidak hanya pedagang kecil, sektor UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi juga merasakan dampaknya. Sektor ini menyerap lebih dari 60% tenaga kerja di Indonesia. Tapi mereka juga yang paling rentan terhadap perubahan kebijakan pajak.

Di sisi lain, kenaikan tarif PPN juga membawa risiko sosial yang besar. Ketika daya beli masyarakat turun, tekanan ekonomi meningkat. Ketimpangan sosial makin terlihat. Ini berbahaya. Sebab ketimpangan sosial adalah bahan bakar bagi protes.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline