Lihat ke Halaman Asli

Menyelamatkan Institusi, Pelajaran Dari POLISI Tembak POLISI

Diperbarui: 23 November 2024   10:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apa jadinya ketika polisi, yang seharusnya menjaga keamanan, justru saling menembak? Kejadian seperti ini lebih dari sekadar berita. Ini tragedi yang membuka luka, tidak hanya bagi institusi kepolisian, tetapi juga bagi kepercayaan masyarakat.

Mereka yang bertugas di balik seragam itu bukanlah robot. Tugas yang melelahkan, tekanan yang tiada henti, serta harapan tinggi dari masyarakat adalah kombinasi yang tidak mudah dijalani. Mereka menanggung beban besar setiap hari, sering kali tanpa ada tempat untuk melampiaskan rasa lelahnya.

Kehidupan polisi tidaklah sebersih dan seindah seragamnya. Mereka bekerja di tengah ekspektasi yang kadang tak manusiawi. "Polisi harus kuat, tak boleh salah, dan tak boleh lelah." Begitu stigma yang melekat. Tapi apa jadinya jika mereka mulai merasa terbakar habis oleh tugasnya?

Konflik internal di tubuh kepolisian bukan cerita baru. Gesekan antarindividu atau antarhierarki adalah realitas yang tak terhindarkan. Rivalitas, persaingan posisi, hingga sekadar beda pendapat kecil bisa jadi pemicu. Masalahnya, tidak semua tahu bagaimana menyelesaikan gesekan ini dengan kepala dingin.

Jiwa korsa sering kali jadi tameng bagi solidaritas dalam kepolisian. Tapi, solidaritas itu bisa rapuh jika ego pribadi mulai menguasai. Ketika persoalan dibiarkan mengendap terlalu lama, bom waktu itu akhirnya meledak. Dan ledakannya, seperti kasus polisi tembak polisi, merugikan semua pihak.

Dalam institusi sebesar kepolisian, pengelolaan emosi sering kali terabaikan. Mereka dilatih untuk kuat secara fisik dan tangguh menghadapi situasi berbahaya. Tapi bagaimana dengan sisi emosional mereka? Siapa yang peduli dengan tekanan mental yang mereka rasakan?

Polisi adalah manusia biasa. Mereka bisa merasa lelah, marah, atau bahkan putus asa. Ketika konflik internal muncul, tanpa ada ruang dialog yang sehat, solusi sering kali diambil dengan jalan pintas. Tragisnya, jalan pintas itu bisa berujung pada tindak kekerasan.

Mungkin kita bertanya, mengapa kejadian seperti ini bisa terjadi? Jawabannya kompleks. Ada tekanan organisasi, ada masalah pribadi, dan ada pula kebijakan yang kurang memperhatikan kebutuhan mental personel. Semua itu bercampur menjadi satu dalam situasi yang sulit.

Kasus seperti ini seharusnya jadi peringatan keras bagi institusi kepolisian. Kesehatan mental personel harus jadi prioritas. Konseling rutin bukan sekadar pilihan, melainkan keharusan. Polisi perlu memiliki akses ke bantuan psikologis tanpa takut dianggap lemah.

Selain itu, pelatihan manajemen konflik perlu ditingkatkan. Polisi tidak hanya perlu diajarkan cara menangani konflik dengan masyarakat, tapi juga konflik di antara mereka sendiri. Pemahaman ini harus ditanamkan sejak awal, bahkan sejak masa pendidikan mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline